Hartono Leke, Maestro Tari Bujang Ganong (3-Habis): Pemain Reyog Harus Punya Rasa

Rabu 16-10-2024,20:22 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Guruh Dimas Nugraha

Bagi Hartono Leke, maestro tari bujang ganong, seorang pelaku seni reyog Ponorogo harus menguasai tiga hal: Wiroso, wirogo, wiromo. Ketiganya merupakan tahapan yang tak bisa dilupakan. Bukan hanya olah fisik. Tapi juga olah rasa. Leke menjelaskan panjang-lebar.

Nama aslinya Hartono. Satu kata saja. Imbuhan "Leke" didapatnya sejak kecil. Itu merupakan nama julukan. Mulanya, saat kecil ia menderita sakit telinga. Kopokan. Sebelah kiri. Sehingga ketika berjalan, ia selalu memiringkan kepalanya. Tubuhnya ikut miring juga.

"Jadi orang-orang waktu itu menyebut saya, 'Hartono, bocah sing mlakune leke'," kenangnya. Artinya, bocah yang selalu berjalan miring. "Leke kan artinya miring. Gara-gara kopoken itu saya dipanggil leke," ungkapnya. Julukan itu melekat hingga kini.

BACA JUGA:Hartono Leke, Kisah Maestro Tari Bujang Ganong (1): Cinta Reyog Sejak 1975


Selain aktif melatih berbagai grup reyog, Hartono Leke membuat topeng bujang ganong di kediamannya, di kawasan Jalan Ikan Kerapu, Surabaya.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

Maestro tari bujang ganong itu tinggal di Surabaya sejak 2002. Ketika itu ia melatih grup reyog di berbagai daerah. Seperti Gresik, Surabaya, Sidoarjo. Hingga ia diundang menjadi pelatih kelompok reyog Gembong Kyai Bulak di Kenjeran, Surabaya. 

Salah satu pegiat reyog di grup tersebut memperkenalkan Leke pada adiknya, yang kemudian menjadi istrinya. Setelah berumah tangga, Leke menetap di Surabaya. Di kawasan Jalan Ikan Kerapu IV. Istrinya itu telah berpulang sejak 2020. Kini, Leke tinggal sendiri. Ia belum dikaruniai keturunan.

Andreanto Surya Putra, salah seorang muridnya dari grup Gembong Kyai Bulak, turut hadir bersama Harian Disway dan Probo Darono Yakti, akademisi Unair yang peduli. Andre menyebut bahwa Leke adalah pelatih yang benar-benar menggembleng murid-muridnya. Wajar, karena pengalaman panjangnya di dunia reyog sejak 1975.

BACA JUGA:Hartono Leke, Maestro Tari Bujang Ganong (2): Tuntutan Fisik Penari Bujang Ganong

"Tapi tidak otoriter. Atau menyuruh kami meniru sesuai keinginan beliau. Kami bahkan saling mengoreksi," ujar Andre. Leke mengangguk. Kemudian menyahut, "Yang paling penting, semua pegiat reyog itu harus menguasai 3 hal: wiroso, wirogo, wiromo."

Wiroso artinya olah rasa. Penjiwaan. Seorang penari reyog, baik jathilan, bujang ganong, maupun dadak merak, harus memiliki olah rasa yang mumpuni. "Kalau sekarang, banyak pemain yang, mohon maaf, 'rasa'-nya kurang. Hanya sekadar bisa. Sekadar menghibur," ungkap pria 58 tahun itu.

Seorang penari jathilan, misalnya, menggambarkan prajurit berkuda yang gagah berani. Ekspresinya, meskipun ditarikan perempuan, harus mencerminkan maskulinitas. Garang, gagah, dan keras. Menunjukkan keberanian.

BACA JUGA:Pemerintah Ajukan Reog, Kolintang dan Kebaya Jadi Warisan Budaya UNESCO


Menurut Hartono Leke, maestro tari bujang ganong, setiap pemain reyog harus memiliki olah rasa yang baik. Penjiwaan harus kuat.-Boy Slamet-HARIAN DISWAY

"Dulu jathilan ditarikan oleh laki-laki. Sekarang banyak ditarikan perempuan. Itu tidak salah. Hanya saja perlu lebih ekspresif," terangnya. Begitu pula bujang ganong dan dadak merak. Gestur tarinya harus benar-benar tampak. Tegas dan keras. Mencerminkan keberanian pula.

Wirogo artinya olah raga. Olah fisik. Seorang penari reyog harus memiliki fisik dan stamina yang baik. Seorang penari jathilan harus bergerak lincah. Penari bujang ganong harus beratraksi, dan penari dadak merak harus menyangga topeng berukuran besar. Semua butuh olah fisik yang panjang.

Kategori :