BACA JUGA:Prabowo Singgung Pengusaha Nakal, Kebocoran Anggaran, hingga Maraknya Kasus Korupsi
BACA JUGA:Prabowo Sebut Nama Anies Baswedan Dalam Pidato Pertama Setelah Dilantik
Ketiga, pendidikan yang merata. Pendidikan, kata orang, adalah kunci masa depan. Namun, bagaimana jika pintu itu tak pernah terbuka untuk semua orang? Dalam laporan PISA, Indonesia berada di peringkat bawah.
Ini bukan hanya soal angka, melainkan soal mimpi yang hancur, anak-anak yang duduk di bangku sekolah tapi tidak belajar. Ini tentang mereka yang berada di pelosok desa, yang jarak ke sekolah lebih panjang daripada harapan yang tersisa.
Tak cukup hanya menaikkan anggaran, pendidikan perlu disentuh dengan rasa –dengan pemahaman bahwa sebuah bangsa maju jika tiap anak diberi kesempatan untuk belajar, tidak peduli di mana mereka dilahirkan.
BACA JUGA:Prabowo Subianto Janji Utamakan Kepentingan Rakyat di Atas Segala Kepentingan
BACA JUGA:Pidato Presiden Pertama Prabowo, Targetkan Indonesia Swasembada Pangan dan Energi
Keempat, krisis kesehatan. Pandemi Covid 2019 telah membuka jendela lebar-lebar. Kita semua melihat: sistem kesehatan kita rapuh. Rasio dokter yang hanya 0,4 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar global, adalah cermin yang tak bisa kita pecahkan begitu saja.
Ada yang perlu dipikirkan, Pak Presiden: bagaimana memberi akses kesehatan yang adil? Bagaimana mendistribusikan tenaga medis ke sudut-sudut negeri yang selama ini terlupakan?
Kelima, ketahanan pangan. Sawah-sawah yang terbentang tak lagi cukup untuk memberi makan semua mulut di negeri ini. Produksi beras yang menurun, ketergantungan pada impor, dan harga pangan yang melonjak adalah bagian dari skenario buruk.
BACA JUGA:Prabowo Disambut Tepuk Tangan, Gibran dan Kaesang Disoraki Peserta Paripurna MPR
BACA JUGA:Prabowo Disambut Tepuk Tangan, Gibran dan Kaesang Disoraki Peserta Paripurna MPR
Ini bukan hanya tentang bagaimana memproduksi lebih banyak pangan, melainkan bagaimana memastikan pangan itu sampai ke piring yang kosong, tanpa terjerat rantai distribusi yang korup dan disfungsional.
Keenam, krisis energi. Di era ketika dunia mulai bicara tentang energi terbarukan, Indonesia masih terjebak dalam ketergantungan pada fosil. Apa yang menahan kita? Pada 2023, sebanyak 60 persen listrik kita masih berasal dari batu bara dan minyak bumi.
Kita tahu, ini tak bisa berlangsung lama. Dunia berubah dan kita harus bergerak lebih cepat atau tertinggal dalam debu sejarah.
Ketujuh, deforestasi dan krisis lingkungan. Di tengah rimbunnya hutan tropis yang tersisa, bayang-bayang deforestasi terus menjalar. Angka 3,8 juta hektare hutan yang hilang dalam sepuluh tahun terakhir bukan hanya statistik.