Tragedi pembekuan BEM FISIP Universitas Airlangga (Unair) pada 25 Oktober lalu seolah menjadi tidal wave (gelombang pasang) bagi kritisisme mahasiswa di Indonesia yang mengawali pemerintahan baru Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran.
Secara historis, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dibentuk atas dasar independensi politik mahasiswa agar lepas dari tekanan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) zaman Orde Baru (Orba).
Sejatinya, BEM adalah ruang produksi nalar kritis agar mampu mendeskripsikan situasi faktual dengan tajam tanpa menegasikan fakta objektif. BEM harus menjunjung tinggi marwahnya sebagai kelompok penekan (pressure group) atas penguasa (negara/kampus).
Apabila BEM sebagai stakeholder mahasiswa telah “didisiplinkan” menggunakan instrumen struktural dan tidak mampu melawan atas penghinaan terhadap marwahnya, tentu ini menjadi awal dari obituari demokrasi.
BEM sebagai kelompok penekan harus tanggap dalam mengkritisi fenomena sosial dan politik. Dalam hemat saya, ekspresi kritik dari gerakan mahasiswa sebaiknya disampaikan dalam bentuk-bentuk yang kreatif, supaya substansi yang dimuat dapat tersampaikan dengan elegan ke publik.
Saya meyakini, mahasiswa dari kampus mana pun yang hendak menyampaikan kritiknya ke publik, terlebih mengatasnamakan BEM, telah melalui proses diskusi dengan dipersenjatai metode berpikir ilmiah. Sehingga menghasilkan dasar argumen yang kuat, sehingga argumen yang disampaikan menjadi akuntabel.
BACA JUGA: Pembekuan BEM FISIP Unair: Ironi di Balik Seruan Etika Akademis Kampus
Bentuk kreativitas dalam mengkritik tak sepatutnya dibatasi oleh siapa pun, termasuk pemilihan diksi, penggunaan media, atau bahkan mazhab mana yang akan jadi acuan, sebab setiap ekspresi keresahan adalah absah.
Apabila kritik tersebut akan mengatasnamakan lembaga, maka perlu mekanisme lanjutan membentuk sebuah konsensus untuk mufakat, karya mana yang akan diangkat ke publik.
Karangan Bunga Prabowo-Gibran yang dibuat BEM FISIP Unair.--Dok. BEM FISIP Unair
Menilik horizon yang lebih luas, gelombang aktivisme yang terjadi di negara monarki konstitusional Thailand pada 2020 lahir dari kritik atas rezim otoritarian Prayut Chan-O-Cha. Banyak mahasiswa di Thailand yang terkena serangan siber berupa ancaman, doxing, dan disinformasi.
Studi kasus kedua adalah gelombang protes mahasiswa di Harvard University, Amerika Serikat, yang mendesak kampus untuk segera mengambil sikap pada isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Palestina. Aksi protes itu diorganisir dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti demonstrasi, pemboikotan, dan menggalang simpati publik melalui media sosial.
Persoalan timbul pada aktivis yang terlibat dalam gerakan ini, yakni profiling yang diikuti oleh doxing. Fenomena yang hampir sama terjadi di Indonesia, aktivisme yang berujung doxing menimpa aktor gerakan.
Masalahnya, tak hanya berhenti di situ, doxing umumnya diikuti oleh cyberbullying, ditambah persoalan saat ini astroturfing sedang masif-masifnya.
BACA JUGA:Alumni Unair Kritik Pembekuan BEM FISIP: Keputusan Emosional