Psikolog AAA mempelajari apa yang membuat sebagian orang lebih pemarah saat mengemui di jalan raya daripada orang lain. Juga, berusaha menemukan solusi, bagaimana mencegah mereka menjadi bahaya di jalan raya.
Penelitian menunjukkan, pria muda adalah yang paling mungkin melakukan kemarahan di jalan raya. Faktor lingkungan seperti jalan raya yang padat dapat meningkatkan kemarahan saat mengemudi.
Faktor psikologis tertentu, termasuk kemarahan yang terpendam dan stres hidup yang tinggi, juga terkait atau dilampiaskan sopir di jalan raya. Selain itu, penelitian menemukan bahwa orang yang mengalami kemarahan di jalan raya lebih mungkin menyalahgunakan alkohol dan narkoba.
Psikolog konseling Jerry Deffenbacher, PhD, dari Colorado State University, menemukan bahwa orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai pengemudi dengan tingkat kemarahan tinggi berbeda dari pengemudi dengan tingkat kemarahan rendah dalam lima hal utama.
Yakni, mereka yang pemarah terlibat dalam pikiran yang agresif dan bermusuhan. Mereka cenderung menghina pengemudi lain atau menunjukkan ketidakpercayaan terhadap cara mengemudi orang lain. Pikiran mereka juga lebih sering berubah menjadi balas dendam, yang terkadang berarti kekerasan fisik. Mereka mengambil lebih banyak risiko di jalan.
Pengemudi pemarah cenderung memacu kendaraannya melebihi batas kecepatan. Juga, suka cepat-cepat berpindah jalur. Juga, buru-buru melewati persimpangan saat lampu lalu lintas berubah merah.
Mereka cenderung mengumpat atau mencaci maki, membentak pengemudi lain, membunyikan klakson karena marah. Mereka juga cenderung marah tidak hanya saat mengemudi, tetapi sepanjang hari.
Pengemudi yang sangat marah mengalami dua kali lebih banyak kecelakaan mobil dalam simulasi berkendara. Mereka juga melaporkan lebih banyak kejadian hampir kecelakaan dan mendapat lebih banyak surat tilang karena mengebut.
Pengemudi pemarah umumnya mengidap kecemasan dan impulsif. Mungkin karena stres di tempat kerja atau di rumah. Pengemudi yang mudah marah cenderung masuk ke mobil dalam keadaan marah. Mereka juga cenderung mengekspresikan kemarahan secara terbuka dan bertindak impulsif.
Pertanyaan, apakah kemarahan di jalan raya sudah tidak terkendali lagi? Jawab peneliti, belum tentu.
Meskipun beberapa penelitian menemukan bahwa sepertiga pengemudi pernah mengalami kemarahan di jalan raya, kurang dari 2 persen melaporkan terlibat dalam ancaman serius atau perilaku kekerasan.
Uniknya, peneliti Deffenbacher menemukan bahwa bahkan orang-orang dengan kelompok sifat mengemudi yang sangat marah tetap tenang dalam kondisi jalan tertentu. Misalnya, ketika mereka berkendara di jalan perdesaan yang lebar dan sepi.
Kemacetan dan perlambatan laju kendaraan tampaknya meningkatkan kemarahan, tetapi hanya untuk beberapa pengemudi, tidak semuanya. Jadi, campuran temperamen individu dan lingkunganlah yang memicu kemarahan.
Deffenbacher memberikan solusi. Kombinasi teknik kognitif dan relaksasi. Setelah diterapkan, itu terbukti ampuh untuk mengurangi amarah di jalan raya di kalangan pengemudi pemarah.
Deffenbacher telah mengajarkan keterampilan penanganan relaksasi terapan dan menggunakan restrukturisasi kognitif atau pembingkaian ulang peristiwa negatif, untuk membantu pengemudi yang mudah marah agar tetap tenang.
Dalam serangkaian penelitian, pengemudi yang sangat marah yang ingin mendapatkan bantuan menghadiri delapan sesi terapi yang melibatkan terapi relaksasi atau terapi kognitif-relaksasi.