Dia merasa bahwa dengan menggunakan benda-benda sensorik, dia bisa lebih mudah mengatasi perasaan yang biasanya berakhir pada keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
Eloise mengungkapkan bahwa awalnya dia berpikir self-harm merupakan cara untuk mengatasi frustrasi yang berlebihan.
"Saya tahu beberapa orang lain juga melakukannya. Kemudian terlintas di benak saya bahwa ada kemungkinan itu adalah sesuatu yang bisa saya lakukan," ungkapnya.
Awalnya, dia merasa kesulitan untuk mengelola perasaan negatif. Baginya, self-harm tampak seperti jalan keluar yang mudah. Meskipun pada kenyataannya justru melemahkan kondisi emosionalnya.
BACA JUGA : Merawat Kesehatan Mental Lansia Agar Bahagia dan Sehat
BACA JUGA: Mengungkap Rahasia Tidur Berkualitas demi Kesehatan Fisik dan Mental yang Optimal
Remaja tersebut mencoba menutupi tanda self-harm yang dilakukannya dengan berbohong kepada keluarga.
Dia merasa malu dan takut jika keluarga mengetahui apa yang sedang dialaminya.
Namun, pada akhirnya dia memutuskan untuk berbicara dengan ibunya.
Dia juga ingat saat pertama kali menceritakan self-harm tersebut kepada sang ibunda.
“Saya bertanya padanya, apakah saat dia marah, dia pernah berpikir untuk menyakiti dirinya sendiri,” tanya Eloise. “Dia bilang tidak. Itu bukan sesuatu yang baik,” imbuhnya.
Meskipun itu bukanlah jawaban yang diharapkan, percakapan tersebut membantu Eloise untuk lebih memahami perasaan dan mendapatkan dukungan dari orang terdekatnya.
Ilustrasi yang menerangkan bahwa keinginan self harm umumnya terjadi pada individu berusia muda. diperkiran mereka berusia di bawah 20 tahun.--Youtube @Psych Hub
Menjadi Lebih Baik Dari Sebelumnya
Eloise berkata bahwa dia sudah tidak melakukan self-harm selama lebih dari lima bulan.
Dia merasa jauh lebih baik semenjak mendapatkan bantuan. Eloise mulai merasakan manfaat dari alat bantu sensorik dan dukungan terapi yang diberikan kepadanya.
Dia mengungkapkan bahwa bantuan terkadang tidak langsung berhasil. Sehingga perlu untuk menemukan jenis bantuan yang tepat.