Meneropong Lanskap Ekonomi Indonesia 2025

Minggu 22-12-2024,14:42 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Kedua, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tertahan oleh lesunya sektor properti dan tekanan tarif AS terhadap barang Tiongkok akan berdampak pada volume ekspor Indonesia ke negara tersebut. 

Kenapa bisa demikian? Jawabannya, tidak lain adalah lebih dari 20 persen total ekspor produk Indonesia berorientasi ke pasar Tiongkok. Atas dasar itu, apabila terjadi perlambatan ekonomi di Tiongkok atau ada kebijakan Donald Trump yang memengaruhi Tiongkok, tentu Indonesia juga kena imbas. 

Misalnya, pengurangan fasilitas generalized system of preferences (GSP) oleh AS menjadi ancaman serius bagi industri manufaktur Indonesia, khususnya tekstil dan produk tekstil. 

Fasilitas itu sebelumnya memberikan keuntungan berupa akses pasar dengan tarif rendah. Kendati demikian, adanya kemungkinan kenaikan harga komoditas yang mungkin terjadi dapat menjadi penyeimbang untuk memperbaiki neraca perdagangan. 

Ketiga, pasar obligasi Indonesia menghadapi tantangan besar pada 2025. Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga pada akhir 2024, tetapi fleksibilitas kebijakan BI masih bergantung pada kondisi nilai tukar rupiah yang cenderung rentan terhadap keluarnya arus modal asing. 

Instrumen sertifikat rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi salah satu strategi penting untuk menarik minat asing. Hingga Oktober 2024, kepemilikan asing atas SRBI mencapai Rp 262 triliun, sebuah indikasi kuat akan keberhasilan instrumen BI dalam menarik modal asing. 

Sebaliknya, jika inflasi global meningkat akibat kebijakan proteksionis AS, BI memiliki ruang gerak terbatas dalam memangkas suku bunga. 

Di sisi lain, potensi capital flight akibat kebijakan unilateral Trump itu sangat mungkin mendorong Bank Indonesia melakukan penyesuaian suku bunga yang lebih tinggi daripada seharusnya, yang pada akhirnya berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi domestik. 

Terlebih, kampanye Make America Great Again (MAGA) Trump membuat prospek ekonomi AS tampak kinclong. Efek dominonya, hal itu akan berdampak terhadap larinya modal asing dari negara-negara emerging market ke pasar AS. 

Termasuk risiko inflasi global yang meningkat juga menjadi tantangan dalam menjaga stabilitas harga domestik. Meski demikian, pasar saham Indonesia masih memiliki peluang untuk bertumbuh meskipun menghadapi risiko volatilitas tinggi. 

Belanja fiskal di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran diyakini akan menjadi faktor penggerak utama pertumbuhan domestik dengan catatan perlu dipacu secara optimal untuk menciptakan efek pengganda ekonomi. 

Lagi pula, besarnya alokasi APBN untuk program makan siang gratis dan kenaikan gaji PNS diharapkan dapat mendongkrak konsumsi domestik. 

Akan tetapi, di pihak lain, adanya kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen sangat mungkin menjadi tantangan bagi daya beli masyarakat yang masih dalam kondisi tertekan. (*)


*) Sukarijanto adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.

 

 

Kategori :