Para ilmuwan dan akademisi kampus jelas tidak ingin tinggal diam dengan kondisi yang dialami negerinya. Sebab, dalam diri mereka melekat tanggung jawab sosial ilmuwan.
LABEL PENGKHIANAT INTELEKTUAL
Ilmuwan kampus yang kritis itu jelas tidak ingin disebut kelompok intelektual yang melakukan pengkhianatan terhadap profesinya. Istilah pengkhianatan kaum intelektual pernah dikemukakan Julien Benda dalam karya klasiknya, The Betrayal of the Intellectuals (1997).
Melalui karya itu, Benda mendorong kaum intelektual memberikan solusi terhadap persoalan bangsa dan negara.
Kaum intelektual yang abai terhadap kondisi bangsa dan negara disebut Benda sebagai ”pengkhianat”. Agar tidak disebut ”pengkhianat”, sejumlah akademisi kampus menyampaikan kritik konstruktif pada kebijakan pemerintah.
Jika diperhatikan dalam perjalanan sejarah bangsa, kelompok intelektual kritis itu selalu ada di setiap periode pemerintahan. Mereka senantiasa risau karena melihat kondisi negaranya tidak sedang baik-baik saja.
Tatkala melihat kasus korupsi dengan semua ekspresinya begitu merajalela di negeri ini, kaum intelektual pun bersuara lantang. Korupsi benar-benar telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apalagi, ketika publik mengikuti dengan saksama kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Ironisnya, pelaku korupsi yang merugikan negara dengan nominal begitu besar hanya divonis 6,5 tahun penjara. Kasus tersebut telah menjadikan amarah publik memuncak.
Rasa keadilan publik seperti terkoyak. Vonis 6,5 tahun penjara untuk korupsi senilai Rp 300 triliun. Kasus itu laksana fenomena gunung emas. Seolah hanya dua atau tiga kasus, padahal ada begitu banyak kasus besar yang terjadi dan belum terendus media.
Tetapi, sangat disayangkan, nalar kritis yang dikembangkan kaum intelektual sering kali dilihat sebagai ancaman. Padahal, seharusnya kritik dari mana pun datangnya dapat menjadi energi positif.
Reaksi paling baik dalam merespons kritik adalah peningkatan kinerja. Kelompok mana pun tidak seharusnya merespons kritik dengan membuat narasi yang justru kontraproduktif.
Apalagi, jika narasi itu dibuat dengan memanfaatkan jasa kelompok buzzer, influencer, atau content creator yang tidak bertanggung jawab. Perang narasi dengan memanfaatkan jasa para pendengung suara tentu tidak produktif.
Apalagi, untuk mendapatkan jasa para pendengung suara, dibutuhkan dana yang besar. Padahal, dana yang besar tersebut tentu akan lebih bermanfaat untuk penanggulangan bencana alam dan bencana kemanusiaan yang acap kali melanda negeri tercinta.
Untuk itulah, semua pihak penting menyadari bahwa suara-suara kritis dari akademisi kampus atau intelektual yang nir kepentingan politik harus dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya sebagai ilmuwan.
Dalam perspektif budaya kampus yang mengajarkan kebebasan berpikir, suara kritis merupakan bagian dari pengembangan nalar ilmiah. Yang penting, suara-suara kritis itu disampaikan secara terhormat dan bertanggung jawab.
Nilai-nilai moral akademik kampus pasti tidak membenarkan model kritik bernada menghasut, menghujat, melecehkan, dan jauh dari kebenaran. Sebagai insan terdidik, akademisi kampus penting menampilkan diri sebagai kritikus yang berkeadaban. (*)