Soekarno di Bandung, Tjokroaminoto di Surabaya, Tjipto Mangoenkoesoemo di Batavia. Gagasan-gagasan pembebasan mereka serap dari literatur-literatur berbahasa Belanda saat itu.
Sjahrir yang masuk ke algemene middelbare school (AMS) C pada 1926, lalu diikuti Mohamad Natsir pada 1927, membentuk komunitas kecendekiawanan.
Mereka pun terasah secara akademis, tapi peka terhadap situasi politik.
Seusai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kaum cendekiawan masuk secara formal ke partai-partai politik yang terbentuk hanya empat bulan setelah proklamasi.
Sejak November 1945, kaum cendekiawan mengubah strategi perjuangan. Dari luar pemerintahan menuju kompetisi masuk ke pemerintahan.
Warna kecendekiawanan di panggung politik tampak kuat saat terjadi pertarungan ideologi selama Demokrasi Liberal (1950–1959). Suasana itu sangat mirip dengan Eropa dan AS, ketika cendekiawan juga menjadi penyokong partai politik.
Situasi di Indonesia berubah ketika memasuki demokrasi terpimpin (1959–1966). Soekarno penentu garis politik.
Para cendekiawan memang masih ada dalam partai politik dan di dunia kampus. Namun, mereka tak bebas berekspresi secara politik.
Suasana agak longgar dirasakan para cendekiawan di awal Orde Baru (1967–1971). Mereka hadir di panggung politik.
Mereka menjadi rujukan para elite politik baru yang rata-rata berasal dari dunia militer, ormas, dan organisasi kemahasiswaan.
Tepat pada 1971, Ali Moertopo dan para pendukungnya membentuk Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta.
Selain prestisius, lembaga tangki pemikir itu menjadi penentu politik domestik maupun luar negeri rezim Orde Baru saat itu.
Kehadiran CSIS sulit ditandingi para cendekiawan kampus. Sebab, CSIS punya data sangat lengkap untuk perumusan kebijakan. Jauh lebih lengkap daripada perpustakaan kampus.
Namun, pada 1971 itu juga berdiri Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Lembaga itu mempunyai hubungan erat dengan para cendekiawan kampus.
Banyak kajian telah dihasilkan lembaga itu berkat dukungan para cendekiawan kampus meski rezim Orde Baru masih didominasi cara pikir cendekiawan CSIS.
Ketika para cendekiawan kampus seperti Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan J.B. Sumarlin mulai juga masuk ke pemerintahan pada awal dekade 70-an, tiba-tiba pada 1973 Ali Moertopo gencar menuding mereka sebagai ”Mafia Berkeley”.