Cendekiawan dalam Pusaran Politik (Tanggapan Artikel Prof Biyanto)

Sabtu 18-01-2025,14:36 WIB
Oleh: Rosdiansyah*

Puncaknya meledak Peristiwa Januari 1974. Sekali lagi, cendekiawan menjadi korban politik pertarungan antara elite militer rezim saat itu. 

Konsolidasi rezim politik kemudian berlangsung selama dekade 80-an meski hawa hangat ketegangan ideologi politik masih terasa menghantui kehidupan para cendekiawan. Berbeda dari sikap rezim dianggap sebagai subversif.

Pada November 1989 Tembok Berlin runtuh. Narasi demokratisasi melanda dunia, termasuk ke Indonesia. Vaclav Havel dari Republik Ceko menjadi idola. 

Cendekiawan kampus di Indonesia gencar membicarakan isu-isu demokrasi. ICMI pun berdiri pada 7 Desember 1990, setahun sebelum Uni Soviet, negeri biang otoritarian, bubar. 

Masalahnya, setelah era Habibie, ICMI seperti kesulitan untuk mewarnai panggung politik. Tampaknya, apa pun rezimnya, mereka lebih butuh ormas lain ketimbang ICMI.

Padahal, potret sejarah panjang di atas memperlihatkan bahwa sejatinya cendekiawan tidak boleh menjauhi politik. Seperti kata Francis Bacon, scientia potentia est, ’pengetahuan itu kekuasaan’. Berpengetahuan harus memberikan pencerahan kepada kekuasaan. 

Kehadiran cendekiawan di panggung politik tidak hanya menebar gagasan, tetapi juga menanamkan adab dan patriotisme. (*)

*) Rosdiansyah adalah Periset JPIP, Surabaya.

Kategori :