Refleksi Kejatuhan Soeharto (21 Mei 1998–21 Mei 2025): Pelajaran Politik dari Soeharto

ILUSTRASI Refleksi Kejatuhan Soeharto (21 Mei 1998–21 Mei 2025): Pelajaran Politik dari Soeharto.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DUA PULUH TUJUH tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998, adalah akhir dari perjalanan politik yang cukup panjang bagi mantan orang terkuat kuat di Indonesia. Pada masanya, ia mampu ”menghipnotis” Indonesia.
Kekuasaannya ditopang ”ABG” (ABRI, Golkar, dan birokrasi). Topangan politik dominatif-hegemonik-represif itulah yang mampu membuat ia menjadi ”dewa politik” selama 32 tahun. Sebuah waktu yang cukup lama dalam sejarah politik modern, khususnya di Indonesia.
Dengan kekuasaan yang absolut, ia bisa berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya. ”Ekonomi yes, politik no” adalah jargon kekuasaannya. Hobi ekonomi yang paling digemari adalah utang luar negeri. Akibatnya, warisan utangnya makin menggunung.
BACA JUGA:Jokowi, The Next Level Soeharto
BACA JUGA:The Little Soeharto
Kementerian Keuangan RI mencatat, utang luar negeri Indonesia per Februari 2025 mencapai USD 427,2 miliar dan utang pemerintah mencapai Rp 8.909,14 triliun per Januari 2025. Sebuah angka sangat besar, sampai tujuh turunan mungkin tidak bisa terbayar.
Sedangkan hobi politiknya adalah menekan, bahkan kalau mau “mengbumihanguskan”, lawan-lawan politiknya yang berusaha merongrong kekuasaanya.
Tragedi Malari, Talangsari Lampung, Tangjung Priok, buruh Marsinah, Kedung Ombo Madura, petrus, dan tragedi berdarah lainnya, itu semua tak lepas dari tangan besinya.
Pelanggaran HAM menjadi gambaran kelam politik kekuasaannya. Itulah sisi gelap dari kekuasannya.
Di eranya, kehidupan demokrasi dan politik mengalami kegelapan dan kesuraman. Praktik depolitisasi terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak ada yang berani melawan kekuasaannya.
Mengkritik dan menghujatnya berarti harus siap-siap ditangkap dan dipenjara, bahkan dibunuh. Tak ada pendidikan politik. Yang ada pengekangan politik atau depolitisasi. Sistem politik kepartaian bersifat 3 in 1, tiga kekuatan parpol (Golkar, PPP, PDI), tapi dikendalikan penuh oleh seorang presiden.
KEKUASAAN TERNYATA FANA
Sisi terangnya, ia mampu menjaga stabilitas politik yang cukup ”permanen” meski memakan korban. Pertumbuhan ekonomi positif, pernah mencapai angka 7 persen dan pernah menjadi macan Asia.
Kesejahteraan rakyat relatif baik, setidaknya jika dibandingkan dengan saat ini. Meski begitu, pembangunan ekonomi ditopang dengan fondasi ekonomi yang rapuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: