Refleksi Kejatuhan Soeharto (21 Mei 1998–21 Mei 2025): Pelajaran Politik dari Soeharto

ILUSTRASI Refleksi Kejatuhan Soeharto (21 Mei 1998–21 Mei 2025): Pelajaran Politik dari Soeharto.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Seorang tukang becak berucap: mending zamannya, beras murah, minyak murah, kedelai murah, hidup tenang tak ada teroris, dan berbagai sisi positif nan terang lainnya dari kekuasaannya menghiasi perbicangan di warung kopi. Usia kekuasannya akhirnya berhenti.
Tanggal 21 Mei 1998, kekuasaanya lengser. Ia tak mampu berbuat banyak dari tekanan politik domestik dan internasional. Ternyata di balik kekuasaan yang begitu besar dan absolut, ada kekuasaan yang lebih dan mahabesar, yakni kekuasaan Tuhan.
”Wahai Tuhan yang mempunyai kekuasaan, Kau berikan kekuasaan kepada orang yang dikehendaki dan Kau cabut kekuasaan dari orang yang Kau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Kau kehendaki dan Kau hinakan orang yang Kau kehendaki.”
Saat berkuasa jadi kontroversi, setelah lengser pun tetap jadi kontroversi. Ketika mendekam di rumah sakit, hujatan tak pernah berhenti. Ia bolak-balik ke rumah sakit. Akhirnya, untuk kali kedua Sang Penguasa Alam Semesta kembali menutup usianya, kali ini usia hidupnya.
Ia adalah mantan Presiden Kedua RI H M. Soeharto. Tanggal 27 Januari 2008, Allah menakdirkan akhir kehidupannya. Tak ada yang kekal di dunia ini. Kekuasaan dan hidup seseorang ternyata fana.
PELAJARAN POLITIK: KEKUASAAN
Dari Soeharto, kita bisa belajar tentang kekuasaan.
Pertama, kekuasaan itu bersifat fana, pada saatnya pasti –cepat atau lambat– akan punah atau hilang dari tangan kita.
Karena itu, ketika seseorang memiliki kekuasaan, gunakanlah untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia yang lebih beradab. Kekuasaan harus menghadirkan kemaslahatan sebanyak-banyaknya bagi umat.
Kedua, kekuasaan adalah ujian bagi seseorang tentang karakter yang sebenarnya. Mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah mengatakan, ”Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan.
Namun, jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri ia kekuasaan.” Kekuasaan akan menguji watak asli seseorong sebenarnya, apakah kita termasuk pemimpin atau pengguna kekuasaan yang berwatak baik atau buruk.
Ketiga, kekuasaan itu laiknya orang yang haus, lalu minum air laut. Makin diminum, bukannya makin puas, justru makin haus dan ingin minum terus-menerus. Itulah karakter kekuasaan.
Ketika diberi kekuasaan, bukannya ingin mengakhiri kekuasaannya, orang justru makin ingin mempertahankan dan bahkan menumpuk-numpuk kekuasaan yang baru.
Karena itu, kekuasaan akan menghadirkan kemaslahatan bagi umat manusia jika dipegang orang-orang yang memiliki dasar pemahaman teologis, idiologis, dan politis yang baik dan benar, baik dalam tataran idealis-normatif maupun praksis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: