Harga rumah di Jakarta rata-rata 20 kali lipat dari gaji tahunan seorang karyawan, menurut survei Universitas Indonesia pada Juni 2024. Karena itu, banyak yang ’’mengalah’’ dengan membeli hunian di kawasan satelit yang melingkari Jakarta.
Tengok saja Rizqi Arifuddin. Pekerja kantoran di salah satu distrik bisnis utama Jakarta itu menempuh perjalanan dengan kereta selama satu jam dari rumahnya di Provinsi Jawa Barat. Setelah itu, dia naik ojek selama setengah jam lagi untuk mencapai kantor.
“Saya tidak pernah mampu membeli rumah di Jakarta. Bahkan melihat harganya saja sudah membuat saya pusing,” katanya.
Dengan lahan terbatas di ibu kota yang padat, yang terkenal dengan kemacetan lalu lintasnya yang parah, harga rumah meroket.
Kompleks perumahan kini dibangun lebih jauh dari kota untuk memenuhi permintaan.
“Ini realitasnya. Orang sekarang bersaing untuk mendapatkan tempat yang setidaknya memiliki akses ke transportasi massal,” kata Yayat Supriyatna, seorang perencana kota dari Universitas Trisakti di Jakarta. “Jakarta bukan tempat untuk orang miskin,” katanya kepada AFP.
Beberapa orang seperti Muhammad Faris Dzaki Rahadian dan istrinya memilih untuk menyewa daripada membeli properti yang dekat dengan tempat kerja. “Bahkan dengan penghasilan gabungan kami, itu tetap tidak terjangkau,” kata pria 27 tahun yang bekerja sebagai wartawan tersebut. ’’Pilihan paling rasional adalah tidak membeli rumah,’’ tambahnya.
Untuk mengatasi krisis perumahan, pemerintah akan mewajibkan karyawan mulai 2027 untuk menyumbangkan tiga persen dari gaji mereka ke dalam dana tabungan yang dapat digunakan untuk perumahan. Itulah Tabungan Perumahan Rakyat.
Namun, kebijakan itu memicu polemik. Mereka berpikir, dana itu tidak akan cukup. Atau bahkan bisa dikorupsi. Karena itulah aturan tersebut belum tentu akan dijalankan dua tahun lagi.
“Siapa yang akan diuntungkan? Bagi saya, sepertinya orang-orang terus-menerus ditekan,” kata Supriyatna.
Meski pasar perumahan suram, beberapa orang masih berpegang pada mimpinya. “Memiliki rumah, sekecil apa pun, adalah simbol ketenangan pikiran bagi saya,” kata Jessica Sihotang. ’’Itu akan memberi saya kedamaian ketika saya tua nanti,” harapnya. (*)