Langkah Jadi BUS BTN

Kamis 23-01-2025,14:56 WIB
Reporter : Imron Mawardi*
Editor : Yusuf Ridho

Dengan aset yang kecil, bank syariah  kurang efisien. Itu menjadikan cost of money perbankan syariah cukup tinggi. Overhead cost sulit untuk ditekan. Meski sudah berusaha menyalurkan hampir 100 persen dana pihak ketiga (DPK), perbankan syariah belum bisa menyalurkan pembiayaan dengan margin atau bagi hasil bersaing.

Itu mendapat pembenaran dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Pascamerger, tiga bank syariah BUMN itu menjadi jauh lebih efisien, kapasitas lebih besar, dan bisa lebih bersaing dengan bank konvensional yang dari sisi aset jauh lebih besar. 

Setahun setelah merger, tahun 2021 BSI berhasil membukukan laba Rp 3,02 triliun. Naik sekitar 30 persen yoy. Triwulan I 2022, bank itu sudah membukukan laba Rp 987 miliar, naik 33,18 persen.

Problem modal dan size of business yang kecil itu saat ini dihadapi 21 UUS. Kondisinya cukup mengkhawatirkan jika dipaksa spin-off. Bisa jadi, kualitas pelayanannya juga bakal menurun karena begitu melepaskan diri dari induknya, UUS tersebut akan turun kelas. 

Dengan turun kelas itu, layanan kepada nasabah tentu juga akan turun karena ada beberapa layanan yang tidak bisa diberikan. 

Pengategorian perbankan sejak 2021 menggunakan istilah kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI). Bukan lagi bank umum kegiatan usaha (BUKU). Yang jadi dasar pengelompokan tetap modal inti. Dulu bank BUKU I memiliki modal inti di bawah Rp 1 triliun, BUKU II Rp 1 hingga Rp 5 triliun, BUKU III lebih dari Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun, dan BUKU IV dengan modal inti lebih dari Rp 30 triliun. 

Sesuai POJK No 12/POJK.03/2021 tentang Konsolidasi Bank Umum, perbankan dikelompokkan dalam empat kategori KMBI.  

KMBI 1 adalah bank yang memiliki modal inti kurang dari Rp 6 triliun. KMBI 2 untuk bank yang memiliki modal inti Rp 6 sampai Rp 14 triliun,  KMBI 3  Rp 14 sampai Rp70 triliun, dan  KMBI 4 untuk bank yang memiliki modal inti lebih dari Rp 70 triliun. 

Mengacu pada regulasi itu, jika BTN menyiapkan ekuitas Rp 6 triliun untuk UUS yang nanti diubah menjadi BUS pasca-akuisisi Bank Victoria Syariah, nanti masuk pada KMBI 2. 

Tampaknya kecil kemungkinan bisa mencapai modal inti di atas Rp 14 triliun untuk masuk KMBI 3, karena itu berarti BTN harus menyuntikkan modal yang sangat besar untuk BUS BTN.

Apa pun, langkah BTN itu sudah memberikab harapan besar bagi UUS BTN dan ekosistem perbankan syariah. Itu bisa menjadi referensi bagi 20 UUS yang hingga kini belum memiliki rencana strategik untuk spin-off dari induknya. 

Spin-off itu merupakan amanat dari UU Perbankan Syariah No 21 Tahun 2008. Saat itu pemerintah dan pelaku perbankan syariah cukup optimistis bahwa memberi kesempatan kepada bank konvensional untuk membuka windows (UUS) itu menjadi langkah strategis untuk mempercepat pertumbuhan perbankan syariah. 

Dalam UU itu, UUS diwajibkan spin-off dalam 15 tahun setelah pemberlakuan UU tersebut, yakni tahun 2023. Karena cukup optimistis, UUS yang asetnya mencapai 50 persen dari total aset bank induknya harus spin-off

Syarat spin-off-nya juga cukup longgar, misalnya, bisa dengan modal Rp 500 miliar dan secara bertahan dinaikkan menjadi Rp 1 triliun.  

Namun, manajemen bank induknya berpikir, dengan modal kecil, BUS hasil spin-off dipastikan tak akan bisa bersaing di pasar perbankan yang sangat ketat ini. Akibatnya, tidak banyak UUS yang   naik kelas menjadi BUS. 

Bagaimana dengan UUS yang lain?  Jika tidak memungkinkan spin-off, UUS bisa melakukan langkah lain. Menjual bisnis UUS ke bank umum syariah lain, misalnya. Langkah itu juga tidak akan menurunkan aset dan market share perbankan syariah karena hanya berpindah ke sesama bank syariah. 

Kategori :