Sebuah buku prosa liris berjudul Alelopati menawarkan cara pandang Stebby Julionatan, penulisnya, dalam melihat kesenjangan pembangunan Indonesia melalui perumpamaan-perumpamaan ekologi, khususnya dunia tumbuhan.
Alelopati didapat Stebby tak sengaja dari adiknya, Seba pada 2019, setahun sebelum pandemi. “Saat itu kami me time ke Kebun Raya Purwodadi. Di situ Seba menjelaskan bahwa tumbuhan pun saling berbahasa. Bahasa tumbuhan inilah yang disebut alelopati,” katanya.
Istilah dalam biologi itu merujuk pada fenomena ketika satu jenis tumbuhan melepaskan zat kimia tertentu yang bisa menghambat atau justru mendukung pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya.
BACA JUGA: Bedah Buku dan Seminar Panasonic Gobel Uraikan Kesuksesan Industri Berlandaskan Pancasila
Dalam metafora yang dipakai Stebby, tumbuhan itu adalah representasi masyarakat, pembangunan, hingga relasi sosial yang tumbuh—atau justru terhambat—karena kekuatan eksternal yang tidak selalu terlihat.
Tentang hal ini, Stebby begitu tajam mengaitkan konsep ekologi dengan realitas pembangunan di Indonesia. Kita tahu, sejak lama ada kelompok masyarakat yang mendapatkan akses penuh terhadap pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Lewat buku prosa liris berjudul Alelopati, Stebby Julionatan begitu tajam mengaitkan konsep ekologi dengan realitas pembangunan di Indonesia. -Stebby Julionatan-tvinsider.com
Sementara kelompok lain tertinggal jauh. Sama seperti di hutan, ada tumbuhan yang bebas menjulang tinggi, yang lain harus berjuang di bawah bayang-bayang. Yang menarik, Stebby tidak hanya mengulas kesenjangan itu dari sudut pandang ekonomi dan politik.
Lulusan Kajian Gender Universitas Indonesia, ia membahasnya dari sisi gender dan identitas. Ada kelompok tertentu yang justru tertekan bukan hanya karena faktor kelas sosial, melainkan karena siapa mereka, identitas apa yang mereka bawa, dan bagaimana masyarakat memperlakukan mereka.
Alelopati menyingkap bahwa pembangunan yang timpang bukan sekadar soal material, tapi juga soal relasi kuasa yang mengatur siapa boleh tumbuh dan siapa harus terhambat. “Pembangunan itu tak pernah netral. Pada kenyataannya, pembangunan itu bersifat produktif, maskulin, dan heteronormatif,” ujarnya.
Seperti halnya interaksi tumbuhan di alam, apalagi ditambah dengan sifat eksploitatif manusia terhadap alam, selalu saja ada identitas yang suaranya disingkirkan dari keberadaan pembangunan.
BACA JUGA: M Irfan Ilmie, Wartawan Indonesia, Mengungkap Fakta Uighur Lewat Buku Kesaksian
Kelompok perempuan, lansia, anak-anak, disabilitas, para pekerja non-formal, penganut agama minoritas. Hal itu juga terjadi di kota kekahiran Stebby, Probolinggo. Pembangunan ternyata menyingkirkan ruang-ruang budaya demi lapangan tenis indoor dan pendapatan APBD daerah.
Inilah yang membuat buku ini terasa segar: mengajak pembaca memahami isu sosial dengan pendekatan ekologi sebagai lensa kritik. Maka, selain gagasan, Alelopati memikat lewat gaya penulisan yang puitis.
Stebby kerap melukiskan realitas sosial dengan bahasa perumpamaan, menghadirkan narasi yang tidak melulu akademis. Ia meracik catatan reflektif, esai politik, sekaligus puisi yang menyatu dalam satu helai halaman.
Yang membuat buku Alelopati karya Stebby Julionatan ini adalah karena terasa segar: mengajak pembaca memahami isu sosial dengan pendekatan ekologi sebagai lensa kritik. -Stebby Julionatan-