Panyirep Gemuruh Masjid Peneleh

Minggu 16-02-2025,21:40 WIB
Oleh: Muhamad Rohman Obet*

Meski menggagalkan klaim bahwa Makam Rokaya Cempo tidak ada hubungannya dengan Sunan Ampel, makam tersebut tetap menjadi makam dan cagar budaya terpenting di Kampung Peneleh. 

Makam Rokaya Cempo menjadi satu-satunya makam di Kampung Peneleh yang mempunyai inskripsi di nisannya. Dengan tulisan ”Bu Rukaya Cempo Darullah Minallah Nasrullah 1270 Sanat”. 

ARSIP MASJID PENELEH

Sejak mulai aktif melakukan penelitian di Kampung Peneleh bersama Southeast Asia Neighborhoods Network (SEANNET), terdapat beberapa arsip dan dokumen tertulis yang ditemukan, tetapi tidak ada yang menjangkau hingga masa klasik atau sebelum era kolonialisme. 

Di antaranya adalah koran Soerabaijasch Handelsblad (1894), kitab Panyirep Gemuruh (1924), koran De Indische Courant (1924), foto Takmirul Massajid di depan Masjid Peneleh (tahun tidak diketahui), koran Lokomotif (1927), koran Soerabaijasch Handelsblad (1936), buku My Childhood World (1974), buku Indonesia Urban Society in Transition: Surabaya 1926-1946 (1978), dan buku Vision and Heat: The Making of Indonesia Revolution (1989).

De Indische Courant (13 Agustus 1924) memberitakan dimulainya pelebaran Masjid Peneleh yang ditandai dengan simbolisasi peletakan batu pertama oleh bupati Surabaya dan peletakan tanah pertama oleh wali kota Surabaya. 

Para pejabat lain juga hadir dalam kegiatan tersebut. Di antaranya adalah residen, asisten residen, bupati, wali kota, penasihat urusan dalam negeri, anggota dewan kota, dan pejabat administrasi. 

Pelebaran Masjid Peneleh diinisiasi oleh perkumpulan Tamiroel Massadjid, sebuah perkumpulan keagamaan yang bertujuan mengurus pembangunan tempat ibadah, rumah sedekah, dan karya amal lainnya. 

Tamiroel Massajid mendapat dukungan dana dari perusahaan San Lim Kongsie, Soerabajasche Tegelfabriek, dan Maurice Wolff dalam pelebaran Masjid Peneleh. 

Soerabaijasch Handelsblad (24 November 1894) menyebutkan bahwa tangga dan pintu Masjid Peneleh rusak karena sambaran petir saat terjadi badai pada malam 23 November 1894. Lokomotif (11 Maret 1927) menyebutkan bahwa renovasi Masjid Peneleh yang didanai Tamiroel Massadjid pada 1924 menelan biaya hingga 22 ribu gulden. 

Soerabaijasch Handelsblad (1936) menyebutkan tentang Tamiroel Massajid yang bertanggung jawab atas pemeliharaan Masjid Peneleh mendapatkan sumbangan dana dari umat Islam yang mampu dan warga Grogol Kauman. 

Buku My Childhood World (1974), buku Indonesia Urban Society in Transition: Surabaya 1926-1946 (1978), dan buku Vision and Heat: The Making of Indonesia Revolution (1989) menceritakan Achmad Jaiz, penjahit dan aktivis pergerakan yang melakukan protes ketika khotbah salat Jumat sedang berlangsung di Masjid Peneleh. 

Tokoh yang kemudian menjadi nama jalan tersebut membentangkan sapu tangan merah dan mengibarkannya untuk meminta khotbah salat Jumat di Masjid Peneleh tidak menggunakan bahasa Arab, tetapi menggunakan bahasa Jawa dalam penyampaiannya sehingga jamaah dapat memahaminya. 

KITAB PANYIREP GEMURUH (1924)

Salah satu penemuan arsip tersebut yang paling lengkap dan penting adalah kitab Panyirep Gemuruh (1924). Kitab yang ditulis KH Abdul Wahab Chasbullah tersebut ditemukan Komunitas Pegon dari perpustakaan K. Sholeh Lateng pada 2017. 

Dicetak oleh Percetakan Al-Irsyad Surabaya, kitab itu diterbitkan pada 16 Muharam 1343 H atau bertepatan dengan 17 Agustus 1924, selang beberapa hari setelah dimulainya pelebaran Masjid Peneleh yang diresmikan pemerintah. 

Kategori :