Terutama hotel yang memiliki fasilitas MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition). Sebab,, industri perhotelan memang masih mengandalkan acara pemerintah sebagai salah satu sumber pemasukan utama.
”Dampaknya itu signifikan. Revenue hotel dari pemerintah 30-50 persen. Kalau itu terkurangi karena efisiensi anggaran, okupansi langsung menurun,” kata Dwi Cahyono.
Sejumlah hotel di Jatim, terutama di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Pasuruan, dan Batu merasakan dampak langsung pemangkasan anggaran. Bahkan, penurunan drastis okupansi hotel terjadi sejak awal tahun ini.
Ya, sejak Januari 2025, kegiatan pemerintah di hotel disebut telah dibatalkan. Kini, rapat, seminar, hingga kegiatan seremonial dialihkan ke fasilitas milik pemerintah.
BACA JUGA:Berkah Piala Dunia U-17 di Surabaya, Okupansi Hotel Tembus 90 Persen
”Sekarang saja, acara yang sebelumnya digelar di hotel pindah ke kantor milik pemerintah. Ini akan terasa. Kalau kegiatan pemerintah dicancel setahun penuh, pendapatan hotel bisa berkurang 30-50 persen setiap bulannya,” ujarnya.
Menurut Dwi, tantangannya kini semakin berat. Terutama karena daya beli masyarakat terus melemah. PHRI khawatir kebijakan ini terus mempengaruhi konsumsi rumah tangga. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini berkontribusi 54 persen terhadap pertumbuhan ekonomi.
Data PHRI Jatim mencatat, ada sekitar 800 hotel di Bumi Mojopahit was-was dengan kebijakan ini. Bahkan, sebagian hotel bahkan belum mencapai break-even point (BEP) harian atau balik modal.
Meski memahami kebijakan efisiensi punya tujuan baik, Dwi berharap, pemerintah tetap memprioritaskan acara yang mendukung sektor padat karya seperti pariwisata.
”Kalau harganya sama antara ngadakan event di fasilitas pemerintah dengan hotel, kenapa tidak tetap di hotel? Ini untuk menjaga kontinuitas. Industri hotel itu tergolong padat modal dan padat karya. Modal besar, tenaga kerja banyak. Biar sama-sama hidup,” ujarnya. (*)