Di Indonesia, perjanjian pra-nikah masih berlangsung. Sebagian besar masyarakat memperkirakan hal itu adalah bentuk ketidakpercayaan dalam pernikahan.
Padahal keberadaan perjanjian itu justru bertujuan untuk menciptakan transparansi dan perlindungan bagi pasangan.
Ada pula yang beranggapan bahwa perjanjian itu hanya diperlukan oleh mereka yang memiliki harta berlimpah.
Padahal pasangan dengan kondisi ekonomi menengah pun dapat memanfaatkannya untuk mengatur pembagian tanggung jawab. Berikut mendapat kepastian tentang kejelasan hukum.
Dalam beberapa kasus, perjanjian itu bahkan digunakan untuk menetapkan hak-hak pasangan dalam hal pengasuhan anak atau pembagian kewajiban rumah tangga.
BACA JUGA: Kemenag Soal Isu Larangan Menikah di Hari Minggu: Yang Libur KUA, Bukan Penghulu
Perjanjian pra-nikah bukanlah bentuk pesimisme terhadap pernikahan. Melainkan upaya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan pada masa depan.
Di balik stigma yang masih melekat, terbukti bahwa perjanjian itu memiliki dasar hukum yang kuat. Pun, dapat memberikan kepastian bagi kedua belah pihak.
Menjalani kehidupan rumah tangga tentu membutuhkan komitmen, komunikasi, dan pemahaman yang baik.
Dengan adanya perjanjian pra-nikah, pasangan dapat lebih fokus membangun kehidupan bersama. Tanpa khawatir terhadap permasalahan hukum atau finansial yang mungkin muncul.
Bagaimana pun, menikah bukan hanya soal cinta. Tetapi juga tentang menjaga hak dan kesejahteraan satu sama lain. (*)
*) Pingki Maharani, mahasiswa magang dari prodi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Surabaya.