Mendua tak selalu negatif. Setidaknya bila hal itu dikaitkan dengan dua dunia yang dicintai dr. Evy Ervianti, Sp.DVE, Subsp. DT, FINSDV, FAADV. Yakni kedokteran dan sastra. Begitu sulitnya memilih. Evy tak bisa berat salah satu. Maka tak salah bila Evy menggenggam keduanya erat-erat.
Tak seperti mendua dalam percintaan, apalagi saling menyelingkuhi, justru sikap Evy malah menunjukkan bahwa menekuni dua sisi yang berbeda sekaligus -selama itu sungguh-sungguh- akan mendatangkan manfaat lebih. “Terus terang saya berat dua-duanya. Bagai mendarah daging dalam diri,” kata dermatologist itu.
Soal menguasai dua-duanya, Evy bukan mengada-ada. Ya siapa yang tak kenal dengan Evy sebagai dokter spesialis dermatologi. Juga, siapa yang tak tahu bahwa Evy adalah penulis novel. Sudah empat novel ditulisnya. Dimulai dengan Me, Him, & Labuan Bajo pada 2007, If (2009), So (2015), dan Roti Marieku (2023).
Bersama sahabatnya yang womenpreneur, Anita Zaim, kecintaan Evy pada dunia literasi terbukti dengan berdirinya Arisza Library and Learning. Tempat yang cozy dan estetik untuk kebutuhan nongkrong dan menikmati limpahan buku-buku pilihan. Sebagai dosen FK Unair, Evy pernah membidani majalah kedokteran, Lingua.
Di tengah kesibukannya berpraktik, Evy menganggap dunia sastra semacam wilayah kreatif yang membuat batinnya sehat. “Bukan lagi rekreasi tapi sastra adalah oase yang indah,” ujarnya. Karena itu, bila Evy masih punya waktu menulis, terlebih sastra, barangkali itu tergolong jarang.
Diakuinya, menulis novel sangatlah berat. “Saya butuh waktu 6-12 bulan untuk 1 novel. Selama itu saya harus siap berkorban. Siap turun berat badan. Siap jadi personality berbeda. Siap wayangan tiap malam karena waktu menulis paling tepat ya di malam hari ketika senyap dan semua terlelap. Risikonya ya kurang tidur. Tapi itu asyiknya karena kita masuk dalam dunia imajinasi bagai menjelajah,” bebernya.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Ndindy Indiyati Seniman Teater, Anggota Bengkel Muda Surabaya: Zi Li Geng Sheng
Untuk bisa menjalankannya seiring, Evy punya patron yang diambil dari salah satu ayat Al-Qur’an, QS. Ar-Rahman: 60. “Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” Persis yang juga dinyatakan pepatah Tiongkok, ”善有善报” (shàn yǒu shàn bào): kebaikan akan berbalas kebaikan.
“Ayat ini selalu mengingatkan saya di saat suka atau duka bahwa kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan. Makanya saya yakini keduanya adalah kebaikan yang saling berbalas. Keduanya saling melengkapi. Keduanya mempunyai kesamaan fungsi untuk memberi pemahaman tentang kemanusiaan dan meningkatkan empati dan kepeduliaan,” ungkapnya.
Diakuinya, kedokteran dan sastra sama-sama memberikan manfaat luar biasa dalam hidupnya. Dari kedokteran, Evy belajar sisi humanis. “Kita harus sepenuh hati mengabdikan hidup untuk kemanusiaan dalam menjalankan profesi. Siapa pun yang telah disumpah menjalankan etika kedokteran, pasti akan tersentuh dan mengingat selama hidupnya,” ungkapnya.
BACA JUGA:Cheng Yu Pilihan Dwi Rachmawati Proboningrum, Influencer: Jin Xin Jie Li
Begitu juga sastra. Dengannya, Evy belajar tentang psikologi manusia. Bagaimana menghidupkan karakter manusia, memahami banyak personaliti yang membuat cerita bisa hidup dengan estetika dan keindahan bahasa, serta memperkaya kemampuan berbahasa, serta mengajarkan cara mengekspresikan pikiran dengan lebih indah dan mendalam.
Evy juga melatih empati dengan memungkinkan pembaca masuk ke dalam perspektif berbagai karakter dan memahami sisi humanis, komunikasi yang baik, bahkan bisa untuk penyembuhan fisik dan psikologis. “Jika keduanya sedemikian indah, lantas bagaimana saya menentukan mana yang paling dicintai. Lebih baik saya pegang erat dua-duanya dengan mesra. Semoga memberikan manfaat baik untuk saya dan orang lain,” tegasnya. (Heti Palestina Yunani)