Utang terdiri atas utang jangka panjang, utang jangka pendek, dan sebagian besar bersumber dari utang bank dan obligasi. Meski dalam kondisi sulit, Sritex masih mampu mencetak laba USD 85,32 juta.
Akhirnya malang tak dapat ditolak, secara berangsur-angsur neraca keuangan Sritex memburuk sejak 2021 dengan kerugian mencapai USD 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,66 triliun (asumsi kurs Rp 14.500/USD).
Kerugian Sritex makin berlanjut memburuk pada 2022 dan 2023. Hantaman pandemi Covid-19 tidak hanya mengganggu sektor rantai pasok, tetapi juga memicu penurunan permintaan pasar domestik dan global. Penjualan Sritex pada 2021 tercatat turun 33,93 persen jika dibandingkan dengan 2021, menjadi USD 847,52 juta.
BACA JUGA:Ketua Komisi VII DPR Desak Pemerintah Cegah PHK Massal Sritex
BACA JUGA:Upaya Kasasi Ditolak MA, Raksasa Tekstil Sritex Tetap Dinyatakan Pailit
Di sisi lain, beban pokok perusahaan justru naik dari USD 1,05 miliar menjadi USD 1,22 miliar. Ada pula beban penjualan, administrasi, rugi selisih kurs, hingga cadangan kerugian penurunan nilai piutang dan cadangan kerugian penghapusan persediaan yang membebani neraca Sritex.
Rugi dalam jumlah besar pada 2021 membuat ekuitas Sritex minus USD 398,81 juta atau setara Rp 5,77 triliun. Perusahaan tekstil itu pun mengalami beberapa gugatan PKPU sejak 2021. Sahamnya juga disuspensi otoritas pasar modal sejak Mei 2021 dan bahkan terancam delisting.
Kerugian yang terjadi sejak 2021 membuat ekuitas Sritex minus makin besar hingga mencapai USD 954,82 juta atau Rp 14,56 triliun pada 2023. Adapun total liabilitas perusahaan tekstil itu mencapai USD 1,6 miliar atau setara Rp 24,4 triliun.
Sebagian besar utang tersebut berasal dari utang bank dan obligasi, termasuk secured working capital revolver (WCR) sebesar USD 373,6 juta, secured term loan (STL) USD 472,8 juta, dan unsecured term loan (UTL) USD 480,7 juta.
UJIAN PERTAMA DANANTARA
Terdapat sejumlah faktor utama yang dianggap sebagai penyebab mundurnya industri tekstil tanah air.
Pertama, adanya kebijakan relaksasi impor produk tekstil melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 sebagai pengganti dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, yang membuat aturan impor makin longgar.
Regulasi baru itu memperbesar keran impor produk tekstil kian menggila menyerbu pasar Indonesia. Akibatnya, pasar domestik dibanjiri produk tekstil impor, baik yang legal maupun ilegal. Tanpa melalui pertimbangan teknis yang sebelumnya diatur dalam regulasi, produk tekstil asing tanpa hambatan membanjiri pasar Indonesia.
Kedua, terjadinya oversupply produk tekstil made in Tiongkok akibat kebijakan pembatasan pasar di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Tiongkok tengah menghadapi masalah oversupply produk tekstil dan garmen karena adanya pembatasan dagang berupa tarif tinggi yang diberlakukan AS dan Eropa.
Konsekuensinya, produk-produk tekstil negeri Tirai Bambu itu dialihkan ke pasar Indonesia, yang terikat dalam kerja sama Asia-Pacific Trade Agreement (APTA) dengan Tiongkok. Selain itu, Tiongkok aktif menggelar ekshibisi di Indonesia sebagai strategi untuk memasukkan produk-produk mereka ke pasar domestik.
Ketiga, impor ilegal yang tidak tercatat. Maraknya praktik dumping atau penjualan barang impor dengan harga murah menambah tantangan bagi industri tekstil Indonesia. Selain itu, adanya barang impor ilegal yang tidak tercatat kian mereduksi potensi demand pasar existing.