TUMBANGNYA raksasa tekstil Sritex di Sukoharjo menandai makin temaramnya industri pertekstilan dalam negeri. Belasan ribu karyawan terkena PHK massal. Sementara itu, industri padat karya lainnya di Jawa Tengah juga mengalami tekanan berat akibat serbuan produk impor murah.
Legenda produsen tekstil yang berawal dari sebuah toko kecil di Pasar Klewer, Solo, pada 1968 itu dalam perjalanannya kian berkembang dengan memperluas jaringan fasilitas produksinya sebanyak 37 pabrik yang tersebar di beberapa lokasi di Jawa Tengah.
Adapun pabrik yang dimiliki PT Sritex juga berlokasi di Semarang dan Boyolali dan pabrik terbesar berada di Sukoharjo.
BACA JUGA:Inovasi Buruh Sritex yang Ter-PHK
BACA JUGA:Prabowo Upayakan Karyawan Sritex Bisa Bekerja Lagi, Tim Kurator Sedang Nego Dengan Investor Baru
Perusahaan kebanggaan warga Jawa Tengah itu telah lama dikenal luas dengan produk-produk yang berkualitas tinggi seperti seragam militer, rompi antipeluru, dan perabot tekstil rumah tangga lainnya. Produk-produk Sritex telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Mulai Amerika Serikat (AS), Eropa, hingga Timur Tengah.
Keberadaan Sritex seolah menjadi ikon kemajuan industri manufaktur padat karya yang mengalami masa keemasan di zamannya. Yang lebih membanggakan, Sritex merupakan salah satu perusahaan tekstil asal Indonesia yang mampu bersaing di kancah internasional berbasis labor intensive.
Di era kejayaannya, Sritex pernah memproduksi seragam militer bagi 30 negara di dunia. Delapan di antara negara-negara tersebut adalah negara di kawasan Eropa. Sritex bahkan memproduksi seragam militer untuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO.
BACA JUGA:DPR Kawal Pemenuhan Hak Eks Karyawan Sritex, Termasuk THR
BACA JUGA:Begini Penyebab PT Sritex Bangkrut setelah Alami Krisis Keuangan
Selain itu, Sritex merupakan satu-satunya pemegang lisensi di Asia yang berhak memproduksi seragam militer Jerman. Pada masa puncaknya, Sritex pernah berhasil membukukan laba bersih mencapai USD 68 juta atau setara Rp 936 miliar.
Setahun setelahnya atau pada 2018, labanya bahkan melesat menjadi USD 84,56 juta. Bahkan, pada 2019, Sritex masih mengukir peningkatan laba menjadi USD 87 juta.
Akan tetapi, setelah beroperasi selama 36 tahun, pabrik kebanggaan warga Jawa Tengah itu mengalami masalah keuangan sejak tahun lalu, ketika terlilit utang yang telah melampaui aset. Berdasar laporan keuangan per September 2023, PT Sritex memiliki utang total sekitar Rp 24,3 triliun.
BACA JUGA:Wamenaker Janji Carikan Pekerjaan Untuk Karyawan Sritex Yang Terkena PHK, Tidak Ada Batasan Umur