Menguji Komitmen Prabowo Menyelamatkan Sritex: Serius atau Omon-Omon Belaka?

Kamis 06-03-2025,14:43 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Berdasar data Trade Map pada 2021 dan 2022, ada impor tekstil dari Tiongkok yang tidak tercatat di Indonesia, dengan nilai mencapai miliaran dolar AS. Hal tersebut membuat produk lokal kalah bersaing dan terpinggirkan dari pasar dalam negeri, yang pada akhirnya menggerogoti produktivitas dan pendapatan produsen lokal. 

Keempat, terjadi penumpukan produk tekstil impor di pasar domestik. Importasi barang-barang tekstil dan garmen impor, baik legal maupun ilegal, telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. 

Puncaknya terjadi pada 2023, dengan penumpukan sisa barang-barang impor yang mengakibatkan pasar domestik mengalami stagnasi. Produk-produk impor yang tersisa itu dipasarkan ke masyarakat, tetapi tidak diimbangi dengan daya beli yang memadai. 

Dengan mempertimbangkan aspek strategic legacy yang dimiliki Sritex, seperti penguasaan market niche di kawasan Asia, Eropa, Timur Tengah, dan AS, serta keunggulan mutu produknya, penyelamatan Sritex menjadi pilihan yang tak terelakkan. 

Di samping akan menghindarkan ribuan buruh dari ancaman pengangguran, penyelamatan Sritex akan menjadi batu ujian tekad Presiden Prabowo yang berjanji selalu memprioritaskan kesejahteraan wong cilik sebagaimana yang dikumandangkan berkali-kali dalam setiap kampanye pilpres.

Terdapat dua skenario bagi pemerintah bila ingin mengentas Sritex dari jurang kebangkrutan. Skenario pertama, pemerintah melakukan take-over dengan cara menyelesaikan utang-utang Sritex. 

Karena Sritex sudah diputuskan pailit, pemerintah bisa bekerja sama dengan kurator untuk mengurus aset Sritex. 

Perusahaan yang berlokasi di Kota Sukoharjo itu merupakan perusahaan tekstil besar yang memiliki skala produksi cukup luas, mulai produksi benang sampai garmen dengan dilengkapi mesin-mesin yang modern. Setelah men-take over, pemerintah bisa menjadikan Sritex sebagai portofolio korporasi baru, yakni BUMN tekstil di Indonesia. 

Langkah itu tampaknya paling realistis yang bisa dilakukan pemerintah. Apalagi, pemerintah telah lama membubarkan BUMN tekstil: PT Industri Sandang Nusantara. 

Yang kedua, pemerintah memberikan pinjaman kepada Sritex sebagai langkah konkret untuk melakukan penyelesaian utang-utangnya ke sejumlah kreditornya. Sumber pendanaan itu bisa dengan memanfaatkan Danantara yang baru dibentuk pemerintah. 

Dengan demikian, optimalisasi penggunaan sumber pembiayaan yang berasal dari sovereign wealth fund itu sangat bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Sebagaimana di AS, penempatan dana SWF bisa dialokasikan di berbagai instrumen portofolio seperti real estat, ekuitas global, obligasi, dan private equity.

Investasi non APBN semacam itu memperkuat posisi pemerintah menjadi kian strategis dan legitimate secara ekonomi. Selain itu, mereka tentu saja berkontribusi untuk meningkatkan pendapatan (dan kesejahteraan) bagi pemilik SWF, yakni pemerintah/negara yang berarti juga rakyat, yang secara konstitusi adalah pemilik kedaulatan tertinggi. 

Sebagaimana tekad Presiden Prabowo yang ingin menyelamatkan Sritex dengan menginstruksi empat menteri, yakni menteri perindustrian, menteri ketenagakerjaan, menteri keuangan, dan menteri BUMN, guna mengambil sejumlah langkah strategis demi penyelamatan nasib ribuan buruh Sritex. 

Pematangan rencana itu dipertajam lagi dengan menggelar rapat terbatas di Istana Merdeka Jakarta pada Senin, 3 Maret 2025, yang membahas Sritex dengan tim kurator Sritex hingga koordinator serikat pekerja Sritex Group. 

Langkah penyelamatan itu memiliki makna ekonomi strategis sekaligus sebagai ajang pembuktian tekad dan janji Prabowo untuk membangun kutub ekonomi baru sebagai kendaraan menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen dan bukan omon-omon belaka. (*)


*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship and Leadership dan mahasiswa pascasarjana Program S-3 PSDM Universitas Airlangga.

Kategori :