Saat ini sektor kelautan masuk elemen adaptasi pada program kunci ketahanan ekosistem dan lanskap. Ke depan, diharapkan, sektor kelautan juga dapat berkontribusi dalam elemen mitigasi, khususnya melalui karbon biru.
Terdapat dua istilah pada karbon, yaitu green carbon dan blue carbon. Green carbon merupakan kandungan karbon yang dimiliki vegetasi darat seperti hutan, rumput, belukar, dan jenis vegetasi berklorofil lainnya.
Sementara itu, blue carbon merupakan karbon yang tersimpan, terserap, atau terlepas dari vegetasi dan sedimen ekosistem pesisir, yaitu mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut.
Blue carbon sink selain memiliki kemampuan dalam menyimpan karbon hingga jutaan tahun melebihi hutan tropis di daratan, juga dapat menyerap karbon di atmosfer lebih tinggi daripada daratan (Hafizt, 2011).
POTENSI EKONOMI BESAR TERSEMBUNYI
Data dari Balai Riset dan Observasi Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2022) menyebutkan, per akhir 2022, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya alam pesisir melimpah.
Salah satunya adalah hutan bakau. Itu merupakan hutan yang tumbuh di air payau dan dipengaruhi pasang surut air laut. Bakau tumbuh di 124 negara tropis dan subtropis dengan luas di dunia sekitar 15,2 juta hektare.
Indonesia mewakili 48 persen luasan hutan bakau di dunia bersama Brasil, Nigeria, dan Meksiko. Sebagai rumah dari 25 persen hutan bakau di dunia dengan luas 3,5 juta hektare, Indonesia berusaha memanfaatkan ekosistem bakau dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Komitmen Indonesia terus bergulir dengan diusulkan Climate Ocean Nexus pada COP 25 di Cile tahun 2019. Pada 2020, Indonesia mengajukan submisi terkait isu kelautan dalam perubahan iklim dan pada 2021 isu kelautan secara eksplisit dimasukkan ke komponen adaptasi Enhanced NDC 2022.
Momentum itu makin diperkuat melalui G20 Partnership on Ocean-based Actions for Climate, yang melahirkan inisiatif Science and Exploration for Ocean-based Actions for Mitigation (SEAFOAM).
SEAFOAM merupakan platform riset kebijakan yang berfokus pada pengembangan opsi mitigasi berbasis laut untuk diintegrasikan ke dalam NDC Indonesia.
Dari aspek regulasi yang mengatur pemberdayaan dan perdagangan karbon sektor kelautan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 1 Tahun 2025 menjadi payung hukum untuk penyelenggaraan nilai ekonomi karbon di sektor kelautan.
Regulasi itu memungkinkan kementerian, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk terlibat dalam perdagangan karbon.
Dengan demikian, di tengah keterbatasan potensi sumber-sumber pendapatan negara, potensi karbon kelautan (blue carbon) sangat prospektif untuk makin diberdayakan.
Dengan demikian, selain target menuju terciptanya green economy tercapai, sektor optimasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) juga mampu diraih. (*)
*) Sukarijanto adalah anggota Association of South East Asia Strategic Management Community dan analis kebijakan publik.