Responsibility to Protec Dalam Pemindahan Narapidana: Romantisme Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara

Sabtu 15-03-2025,11:03 WIB
Oleh: J.M Atik Krustiyati


Prof. Dr J.M Atik Krustiyati, SH., MS, Guru Besar Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Surabaya--

AKHIR-AKHIR ini isu pemindahan narapidana mencuat ke permukaan, hal ini dapat dilihat dalam berbagai kasus misalnya Merry Jane, Bali 9, dan berbagai kasus lain. Persoalannya adalah bagaimana Hukum Internasional memandang hal ini.

Narapidana adalah individu atau human being yang mempunyai hak asasi manusia baik bersifat absolut dan relatif. Tanpa memandang bagaimana ia telah melakukan kejahatan namun hak asasi manusia juga tetap melekat padanya. 

Oleh karenanya menjadi logis apabila mempertanyakan mengapa seseorang dapat berada di luar negaranya juga merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakomodir di dalam UDHR/DUHAM. Salah satunya di dalam Pasal 13 ayat (2) yang mengatur hak seseorang untuk keluar dan masuk dari dan ke negara asalnya.

Perlindungan hak asasi manusia atas seseorang juga diatur dalam beberapa Kovenan antara lain ICCPR atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 2 dan Pasal 3. ICCPR ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2005 dalam UU No. 12 Tahun 2005 dengan urgensi penghormatan terhadap hak asasi manusia yang telah hidup sebagai jus cogens dalam masyarakat Indonesia. Ratifikasi ini membawa konsekuensi logis bagi pemerintah Indonesia untuk dapat comply/mematuhi kewajiban yang ada di dalamnya.

BACA JUGA:Pemulangan WNA Terpidana: Setelah Mary Jane, 5 Terpidana Bali Nine Menunggu

BACA JUGA:Kirsten Dunst Mau Perankan Mary Jane Lagi di Film Spider-Man

Dalam membahas kedaulatan negara, hal fundamental adalah sovereign equality of state. Memahami kedaulatan negara tidak hanya berbicara sebuah kekuasaan dan kewenangan mutlak yang dipegang oleh suatu negara. Namun juga bagaimana negara menikmati kedaulatan yang setara. 

Tidak ada kedaulatan yang lebih tinggi atau sebaliknya di antara negara-negara. Namun, tanpa terkecuali seluruhnya mengemban hak dan kewajiban yang sama sebagai bagian dari tatanan masyarakat internasional tanpa memandang keadaan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan aspek lainnya. 

Pemaknaan sovereign equality of states adalah kesetaraan negara dalam arti otonomi berasal dari kedaulatan yang dimilikinya. Setiap negara yang berdaulat adalah setara di bawah hukum internasional. Berangkat dari pemahaman tersebut, esensi penting dari kedudukan yang setara adalah termasuk dalam rangka melakukan kerja sama internasional, dengan equal treatment.

BACA JUGA:Prabowo Berencana Berikan Amnesti Pada Ribuan Narapidana, Menteri HAM Ungkap Alasannya

Berbicara tentang kedaulatan negara maka tidak dapat dilepaskan dari sebuah tanggung jawab negara. Klaim kedaulatan suatu negara hanya mendapatkan legitimasi apabila pemimpin negara tersebut mampu menjalankan tanggung jawab baik ke dalam maupun ke luar negaranya. 

Bahkan dalam lingkup hukum internasional dikenal istilah Responsibility to Protect atau R2P yang melekat pada negara-negara berdaulat secara khusus bagi yang telah menyatakan consent to be bound terhadap PBB. 

R2P sendiri terdiri dari tiga pilar yakni pertanggungjawaban negara, kerja sama Internasional, dan sesegera mengambil tindakan sesuai dengan UN. Negara yang berdaulat dianggap mampu mengemban tanggung jawab khususnya terhadap individu yang menjadi bagian dari negaranya. Kedaulatan tanpa tanggung jawab menyebabkan negara bertindak sewenang-wenang, tanggung jawab negara memastikan bahwa kedaulatan tersebut sesuai dengan tujuan morilnya.

Adanya pemindahan narapidana (orang yang telah mendapatkan vonis putusan pengadilan dan menjalani masa hukumannya) dapat ditinjau dari sudut pandang kedaulatan serta tanggung jawab negara. 

Kategori :