
Sebagai contoh untuk bidang pertanian padi dapat memiliki pabrik penggilingan dan membentuk koperasi terdiri atas beberapa kelompok yaitu: kelompok petani yang menghasilkan produk pertanian, kelompok pekerja pabrik yang menjalankan pabrik untuk meningkatkan nilai produk dan kelompok investor yang berkontribusi dalam permodalan.
Bila diperlukan bisa ditambah kelompok professional yang mengorkestrasi dan menyinergikan ketiga kelompok yang lain agar berjalan efisien dan profitable termasuk meningkatkan produktivitas pertanian. Bagaimana cara membagi SHU-nya? Tentu perlu dirumuskan secara adil dan disepakati bersama secara demokratis, inilah yang membedakan Koperasi dengan Perseroan Terbatas.
Dengan masuknya teknologi seperti mesin penggilingan pabrik untuk pertanian padi atau pabrik CPO untuk petani sawit atau cold storage untuk nelayan, ada faktor skala ekonomi yang perlu dipertimbangkan.
Beberapa waktu lalu beredar info pabrik CPO mini milik petani/koperasi mangkrak karena tidak efisien. Ketidakefisienan ini bisa jadi karena skala ekonomi yang tak terpenuhi. Berdirinya pabrik yang cukup complicated seperti pabrik CPO memerlukan SDM seperti tenaga operator, admin keuangan, security, dan seorang manajer yang perlu digaji.
Apabila kapasitas terlalu kecil, profit yang terbentuk tidak cukup untuk menggaji SDM yang diperlukan. Permasalahan ini tidak muncul pada petani yang hanya menggunakan tenaga sendiri dan keluarga yang tak perlu dibayar.
Beberapa waktu lalu presiden Prabowo mengundang para taipan nasional seperti grup Salim, grup Lippo, grup Sinarmas, Chaerul Tanjung, juga yang lainnya. Tujuan adalah agar para Taipan meningkatkan kontribusi pada Pembangunan Nasional dengan melakukan investasi di Indonesia untuk menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja.
Imbauan ini mungkin bisa diperkaya dan disinergiskan dengan rencana pembentukan 70.000 Kopdes Merah Putih. Para Taipan bisa berkontribusi dengan menjadi kelompok investor dari Koperasi Desa yang berbentuk Koperasi Multipihak. Kontribusi ini bukan charity, melainkan benar benar usaha bisnis yang saling menguntungkan. Para Taipan juga diharapkan menularkan kapabilitas intrepreunership pada koperasi yang terbentuk.
Barangkali memang masih ada kendala aturan, karena berdasarkan aturan yang ada anggota Koperasi Multipihak adalah perorangan dan bukan lembaga atau perusahaan. Namun hal ini adalah permasalahan teknis yang bisa dicari jalan keluarnya.
Misalnya dengan menugaskan karyawan menjadi anggota dengan perjanjian tertentu. Apakah hal ini berarti mencampur adukkan antara yang kapitalistik dengan koperasi?
Tentu ini debatable, namun sepanjang koridornya adalah koperasi rasanya tidak ada salahnya.
Ide ini kiranya bisa mengatasi penolakan para kepala desa, karena permodalan bukan berasal dari dana desa melainkan dari kelompok investor.
Semoga niat mulia pemerintah memajukan Koperasi Indonesia melalui pembentukan 70.000 Koperasi di desa-desa dapat terlaksana dengan baik dan memberi dampak positif bagi perekonomian nasional. (*)