BACA JUGA:Menanti Wajah Baru Pendidikan Vokasi
Salah satu alasan masyarakat kurang tertarik pada pendidikan vokasi adalah karena banyak yang bingung dengan definisi, kurikulum, dan tujuan pendidikan ini. Pendidikan vokasi fokus pada keterampilan praktis dan pengetahuan khusus untuk pekerjaan tertentu. Tujuannya adalah agar lulusan siap bekerja dengan keterampilan yang sesuai.
Ada perbedaan antara Sekolah Kejuruan dan Pendidikan Vokasi di Indonesia. Sekolah Kejuruan (SMK) adalah pendidikan menengah setelah SMP, seperti SMK Teknik Mesin atau Akuntansi. Pendidikan Vokasi adalah pendidikan tinggi setelah SMA atau SMK, seperti Program Diploma di politeknik atau universitas, contohnya D3 Akuntansi. Sistem vokasi di Indonesia saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
Kurikulumnya sering tidak cocok dengan industri modern, sehingga lulusan sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Oleh karena itu, perlu ada perubahan besar dalam sistem pendidikan vokasi dan TVET agar lulusannya lebih berkualitas dan bisa bersaing di pasar kerja.
Pemerintah Indonesia telah menyadari pentingnya meningkatkan kualitas pendidikan vokasi dan TVET. Beberapa langkah yang diambil termasuk pembaruan kurikulum agar lebih selaras dengan kebutuhan industri. Selain itu, pemerintah juga mendorong kerjasama antara lembaga pendidikan vokasi dengan perusahaan untuk memberikan pengalaman praktis kepada siswa.
BACA JUGA:Pendidikan Vokasi dalam Bingkai Semangat Sumpah Pemuda
BACA JUGA:Pemerintah Perkuat Kualitas SDM Melalui Integrasi Kesehatan dan Pendidikan Vokasi
Untuk mendukung upaya ini, pemerintah juga telah meningkatkan anggaran pengembangan infrastruktur dan fasilitas di sekolah-sekolah vokasi. Program pelatihan guru juga diperkuat untuk memastikan tenaga pengajar memiliki kompetensi yang up-to-date sesuai perkembangan teknologi dan industri.
Selain itu, pemerintah mendorong pendirian pusat-pusat keunggulan vokasi di berbagai daerah untuk menjadi model pengembangan pendidikan vokasi yang berkualitas.
Masalah utama adalah kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Penelitian menunjukkan 65 persen alat praktikum di politeknik sudah usang. Hanya 20 persen mata kuliah yang diperbarui untuk industri 5.0. Fasilitas pendidikan Teknik Mesin bidang fabrikasi lembaran logam tertinggal 25 tahun dari dunia nyata industri.
Stigma 'Kelas Dua' yang sulit dihapus Survei Kemendikbud (2023) menunjukkan 78 persen orang tua lebih bangga jika anaknya masuk SMA daripada SMK. 65 persen lulusan SMK memilih melanjutkan ke S1 daripada D4. "Masih ada pandangan bahwa vokasi adalah untuk siswa 'buangan'," kata Diana, guru BK di Jakarta. Kebijakan yang setengah hati, Analisis kebijakan menunjukkan: Alokasi anggaran untuk vokasi hanya 15 persen dari total anggaran pendidikan tinggi. Proses sertifikasi kompetensi masih rumit dan mahal. Diperlukan kerja sama lebih erat antara industri dan kampus, bukan hanya di atas kertas.
BACA JUGA:Pemerintah Resmi Buka Kelas Vokasi Industri Tingkat Internasional Pertama di Jepang
Dengan langkah-langkah strategis mulai dari pembaruan kurikulum, penyederhanaan sertifikasi, insentif bagi industri, hingga peningkatan anggaran—pendidikan vokasi dapat menjadi fondasi kemajuan bangsa. Kolaborasi antara pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan menjadi kunci utama. "Vokasi Bisa" harus menjadi gerakan nyata, bukan sekadar wacana. Saatnya kita wujudkan vokasi sebagai penopang ekonomi Indonesia yang tangguh.
Bagaimana menurut Anda?