Jejak Bung Karno memang merentang panjang. Mulai kelahirannya 124 tahun lalu hingga di era digital saat ini. Salah satu kota tempat merasakan jejak tersebut adalah Blitar.
MATAHARI menggantung tinggi di langit Blitar, Jumat siang itu, 6 Juni 2025. Terik menyengat, udara nyaris tak bersahabat. Tapi langkah kaki para peziarah tak surut. Dari berbagai arah, mereka mengalir menuju kompleks pemakaman Sang Proklamator
Di sinilah, di tanah yang menjadi peristirahatan terakhir Ir. Soekarno, gelombang penghormatan mengalir setiap tahun. Terlebih pada tanggal lahirnya.
Hari itu memang ada peziarah yang istimewa. Dialah Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI. Megawati datang bersama para politisi PDI Perjuangan. Juga para kepala daerah. Mereka datang membawa bunga dan doa.
BACA JUGA:Seri Sang Putra Fajar (1): Warisan Abadi Spirit Bung Karno
BACA JUGA:Seri Sang Putra Fajar (2): Tumpeng yang Bikin Gemetar
Peringatan ulang tahun Bung Karno tak sekadar seremoni. Ini adalah ziarah ideologis. Sebab, jejak pemikiran Bung Karno terus mengendap dalam pusaran politik bangsa.
Tak jauh dari pusara, di sisi selatan, bangunan megah berdiri teduh: Museum dan Perpustakaan Proklamator Bung Karno. Di dalamnya, kenangan tak hanya diawetkan, tapi dihidupkan.
Patung Bung Karno duduk dengan buku terbuka. Simbol bahwa presiden pertama itu bukan hanya politisi. Ia juga pemikir. Boleh disebut filsuf. Yang filosofinya tetap bertahan di 80 tahun usia republik ini. Harus diakui, Indonesia memang bisa merdeka karena pemimpinnya membaca.
Di museum Bung Karno yang berpendingin udara itu, pengunjung menyisir rak buku. Menyentuh kaca yang melindungi peci dan jas tua. Menyimak video perjuangan di layar digital.
SENTUHAN DIGITAL lewat aplikasi iSoekarno di Museum Bung Karno, Kota Blitar.-Boy Slamet-
Museum itu tak hanya menyimpan benda. Ia menyimpan semangat. Ada koper tua yang pernah menemaninya keluar-masuk tahanan kolonial. Ada Gong Kiai Djimat dan Keris Kiai Sekar Jagad yang seolah berbisik dalam bahasa warisan budaya.
Lukisan Bung Karno karya I.B. Said di ujung ruang pamer seolah hidup. Konon, detaknya mengikuti jantung yang memandanginya. Mitos atau sugesti, yang jelas: Bung Karno memang tak pernah benar-benar pergi dari ingatan kolektif bangsa ini.
Perpustakaan yang dibuka oleh Presiden Megawati pada 2004 itu menyimpan lebih dari 6.000 eksemplar buku. Di era digital, ia beradaptasi: ada iSoekarno . Itulah aplikasi yang memuat ratusan foto, video, dan naskah digital sang Proklamator.
Di bawah sinar mentari Blitar yang menyilaukan hari itu, museum dan perpustakaan Bung Karno menjadi oasis ingatan. Ia menjadi tempat generasi muda belajar, bukan hanya mengenang.