Li belum mengetahui detail soal jasa penghapusan jejak AI. Sebab, kampusnya tidak menggunakan deteksi AI sebagai syarat wajib kelulusan. Sistem deteksi itu menjadi sekadar referensi bagi dosen pembimbing yang akan memberikan penilaian akhir.
Sebagai pembimbing, ia lebih memilih menelaah setiap bagian yang terdeteksi sebagai duplikasi atau anomali . Setelah itu, ia akan memberikan saran modifikasi satu per satu. Pendekatan personal itu dinilai lebih adil dan akurat.
BACA JUGA:Kecerdasan Buatan Bidang Radiologi Kedokteran Gigi (2): Menuju Indonesia Sejahtera
BACA JUGA:Kecerdasan Buatan Bidang Radiologi Kedokteran Gigi (1): Teknologi dan Digitalisasi Dunia Medis
Li meyakini bahwa peran aktif pembimbing dalam mengecek dan memberi masukan secara mendalam dapat mempersempit ruang gerak industri semacam ini.
Harus diakui, lonjakan layanan penghapus jejak AI itu mencerminkan ketegangan antara perkembangan teknologi dan integritas akademik. Di satu sisi, teknologi menawarkan efisiensi dan kemudahan. Di sisi lain, muncul tekanan administratif dan etika yang mendorong mahasiswa mencari jalan pintas.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa regulasi belum secepat inovasi. Ketika universitas menerapkan deteksi AI tanpa edukasi etika yang kuat, celah bisnis muncul. Sayangnya, industri ini itu tanpa jaminan mutu. Risikonya benar-benar bisa merugikan mahasiswa sendiri.
Para ahli pun mengusulkan pendekatan jangka panjang. Yakni, pendidikan etika akademik, keterlibatan aktif pembimbing, dan pemahaman mendalam tentang peran AI dalam dunia akademik.
Selama belum ada konsensus mengenai batasan penggunaan AI dalam karya ilmiah, layanan-layanan semacam ini kemungkinan besar akan terus eksis. Mereka terus merayap di antara bayang-bayang hukum dan etika. (*)