Mereka harus aktif menciptakan ruang-ruang inklusif untuk dialog lintas iman dan budaya. Itu penting guna memperkuat kohesi sosial dan menghindari polarisasi yang berbasis identitas.
Para pemuka agama perlu terus mengembangkan narasi keagamaan yang sejalan dengan semangat kebangsaan dan kemanusiaan universal. Bukan yang eksklusif atau ekstrem.
Bayangkan kalau konsensus baru dibangun atas dasar wahana media sosial yang tak jelas landasan etisnya? Kebenaran akan terbangun atas dasar algoritma mesin yang bisa direkayasa seperti merekayasa undang-undang. Di sinilah kehadiran pemimpin agama sangat penting artinya.
Dengan menggunakan ”sisa otoritasnya”, mereka bisa mendorong umat untuk aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi. Tentu proses demokrasi yang tetap menjunjung tinggi etika dan prinsip kebangsaan, tanpa membawa agama sebagai alat politik praktis.
Singkatnya, pemuka agama perlu terlibat aktif dalam membangun dialog yang bermakna dan menyusun konsensus baru demi keberlanjutan Indonesia sebagai negara-bangsa yang beragam. Peran mereka tidak hanya sebagai penyampai ajaran, tetapi juga sebagai penjaga moral publik, pemersatu bangsa, dan penjaga nilai-nilai luhur Pancasila.
Meski demikian, inisiatif MPR tetap harus dikedepankan. Sebab, merekalah yang dibiayai negara untuk mengambil inisiatif-inisiatif penting yang menyangkut urusan negara bangsa. Tidak hanya menjadikan pemuka sebagai bumper ketika bangsa ini menghadapi kegentingan.
Rasanya dibutuhkan suara lebih keras dan lebih luas. Tak hanya suara NU dan gereja yang muncul dalam Forum Keramat. Tapi, merambah ke dalam perbincangan dalam semua elemen bangsa. Agar bangsa ini tak menjadi ambyar.
Di sinilah, Forum Keramat menjadi melegakan. Sedikit mengurangi kegelisahan ketika pragmatisme politik merambah ke mana-mana. (*)