Suara NU-Gereja

Selasa 17-06-2025,04:33 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

Di sinilah dibutuhkan konsensus baru yang bersifat etis sebagai rujukan operasional di atas undang-undang. Dibutuhkan jabaran nilai-nilai dasar akan beberapa hal sehingga ada kisi-kisi jalan keluar. Juga, kebutuhan konsensus tentang etika. Apa yang patut dan tidak patut. 

Ketiadaan rujukan etis hasil konsensus baru setelah konsensus tentang negara bangsa menjadikan adanya kecenderungan untuk mengakali undang-undang. Mayoritanisme –pandangan mayoritas yang berkuasa–  menjadi persoalan baru yang bisa menabrak wahana yang dihasilkan konsensus para pendiri bangsa.

Gus Dur pernah mengusulkan agar MPR menjadi wahana konsensus baru tersebut. Bentuk konsensus baru itu bukan TAP MPR. Melainkan, semacam konsensus baru yang berisi nilai-nilai luhur yang menjadi rujukan berbangsa dan bernegara. Namun, usul tersebut ditolak. 

BACA JUGA:Pola Relasi Baru NU-Muhammadiyah

BACA JUGA:NU Menduniakan Islam Damai

Gus Yahya yang saat Gus Dur menjadi presiden sebagai salah seorang juru bicaranya mendorong MPR kini saatnya mengambil inisiatif. ”Sebelum bangsa ini ambyar,” kata kiai muda yang juga jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Kegelisahan Gus Yahya itu diamini Pendeta Manuputty. Ia mengapresiasi langkah PBNU dalam membuka wahana dialog kebangsaan seperti itu. Dialog mingguan tersebut diharapkan bisa menghasilkan konsensus-konsensus baru yang dirumuskan berbagai elemen bangsa yang majemuk ini.

”Ini inisiatif yang mahal. Upaya untuk menginkubasi konsensus bersama agar keguyuban kita sebagai bangsa yang majemuk tidak hilang. Padahal, keguyuban itulah yang menjadi karakter kita,” katanya.

BACA JUGA:PBNU dan Wajah Baru Santri

BACA JUGA:Gestur Baru NU

Ia pun setuju agar terus-menerus dilakukan resonansi konsensus tentang bangsa Indonesia. Konsensus baru sangat diperlukan untuk menyikapi berbagai dinamika baru. Hanya, kemajemukan harus tetap menjadi landasan konsensus baru tersebut.

Mengapa perjumpaan lintas sahabat –meminjam istilah Pendeta Manuputty– seperti diinisiasi PBNU itu menjadi sangat penting? Sebab, para pemuka agama memiliki peran strategis dan historis dalam membangun bangsa Indonesia. 

Setelah konsensus-konsensus fundamental yang dirumuskan para pendiri bangsa seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tantangan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka dari itu, dibutuhkan konsensus-konsensus baru yang tetap berakar pada nilai-nilai kebangsaan.

BACA JUGA:Politik Langitan NU

BACA JUGA:Dua Gus, Satu NU

Pemuka agama membawa otoritas moral dan dipercaya umatnya. Dalam dialog kebangsaan, mereka dapat menawarkan perspektif etis atas isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi.

Kategori :