Buku karya duo profesor itu menjabarkan hasil riset tentang anak-anak yang melihat atau mengalami tindak kekerasan. Makin brutal tindak kekerasan yang dilihat, makin dalam dampak psikolgisnya. Paling brutal adalah melihat pembunuhan. Apalagi, pembunuhan ortu mereka.
Dijelaskan, bagi masyarakat umum, anak-anak itu kelihatan normal. Memang, saat melihat tindak kekerasan, apalagi pembunuhan, mereka menangis. Disebut tantrum atau ledakan emosi disertai tangis intensif.
Beberapa saat kemudian, anak sudah tenang. Esoknya mungkin kelihatan muram. Beberapa hari kemudian tampak normal.
Sesungguhnya, tidak normal dalam jiwa mereka. Disebut post-traumatic stress disorder (PTSD). Sebab itu, mereka wajib didampingi psikolog. Diterapi. Dalam psikologi disebut intervensi pakar.
Buku How Intimate Partner Violence Affects Children menggabungkan riset perkembangan, kasus nyata, dan intervensi pakar berbasis bukti. Hal itu untuk memahami bagaimana kronologi pembunuhan yang dilihat bocah (mulai bayi sampai remaja) sehingga bisa diprediksi dampaknya.
Terhadap anak-anak usia dini (balita) pada tahap awal setelah mereka melihat pembunuhan, mereka akan mengalami keterlambatan pencapaian. Semestinya sudah bisa melakukan sesuatu, tapi ia belum bisa. Juga, gangguan keterikatan (attachment). Mereka merasa tidak aman terhadap semua orang di sekitarnya.
Gejala fisik, sulit makan dan tidur. Gampang terkejut. Berkurangnya kemampuan mengeksplorasi lingkungan sekitar. Jika sebelumnya bisa, setelah melihat pembunuhan menjadi tidak bisa.
Dalam tahap lanjut (beberapa waktu setelahnya) mereka akan menyalahkan diri sendiri setiap mereka ingat peristiwa pembunuhan. Mereka merasa bersalah. Akibat fisiknya, mengompol. Juga, clingy (sikap anak yang terlalu bergantung pada ortu atau pengasuh hingga terbawa sampai remaja dan dewasa).
Tahap lanjut, anak belajar model pemanfaatan kekerasan sebagai cara mengendalikan atau menyelesaikan konflik. Artinya, setiap ia berkonflik dengan orang lain, baik konflik ringan maupun berat, mereka akan menggunakan kekerasan. Disebut model pemanfaatan kekerasan. Berkaca pada tragedi yang mereka saksikan, dulu.
Pola itu bisa menjadi dasar dari agresi persisten (berkesinambungan), penolakan empati, dan menyusutnya kepercayaan kepada orang lain. Itu menyulitkan pembentukan hubungan sehat mereka. Misalnya, saat menjalin persahabatan. Mereka sulit berhubungan sosial secara sehat.
Saat anak usia sekolah, terjadi penurunan prestasi sekolah dan gangguan konsentrasi. Mereka sulit fokus pada sesuatu, antara lain, pada mata pelajaran sekolah.
Pada masa remaja, mereka cenderung mabuk-mabukan sebagai sarana pelarian jiwa yang tidak nyaman. Mabuk alkohol, bisa juga narkoba.
Sejak remaja, mereka kurang kemampuan koping. Berlanjut sampai mereka meninggal.
Koping adalah proses individu dalam mengatasi, menanggulangi, atau mengelola situasi stres atau tekanan. Baik tekanan berasal dari dalam diri maupun dari lingkungan eksternal. Upaya koping melibatkan berbagai mekanisme, baik kognitif (pikiran) maupun perilaku, yang bertujuan mengurangi dampak negatif stres demi mencapai keseimbangan jiwa.
Semua manusia diberi Allah kemampuan koping. Itu sangat penting dan berharga. Karena itu, tidak semua orang yang suatu saat emosional akibat sesuatu, lalu memukul atau membunuh orang lain. Koping menyeimbangkan jiwa. Menahan emosi.
Nah, anak yang melihat pembunuhan kehilangan koping. Mereka kehilangan itu karena tertutupi alam bawah sadar yang merujuk pembunuhan yang mereka lihat, dulu.