Akibatnya, dalam benak mereka tertanam, penyelesaian stres akibat tekanan pada jiwa mereka, yang disebabkan oleh konflik dengan orang lain, adalah bertindak kekerasan. Mereka sudah punya contoh pada kejadian yang mereka lihat, dulu.
Bagi mereka, tindak kekerasan adalah ”normal” dalam relasi intim, saat mereka menikah kelak.
Kesimpulan isi buku, anak yang melihat pembunuhan menyebabkan dampak negatif jangka panjang pada perkembangan mental, fisik, dan sosial. Trauma itu dapat memicu pola kekerasan berulang saat mereka dewasa.
Tanpa intervensi, anak-anak berisiko tinggi mengalami PTSD permanen, gangguan emosional, dan menyusun pandangan kehidupan yang menganggap bahwa kekerasan adalah normal.
Demi mencegah dampak negatif, kata buku itu, diperlukan intervensi pakar. Menyangkut pelatihan keterampilan emosional dan parenting positif. Itu dilakukan psikolog, pekerja sosial, serta sistem sekolah. Konsisten. Sejak anak-anak melihat pembunuhan sampai mereka usia dewasa.
Sulitnya di Indonesia, penanganan tidak mungkin konsisten, dari pasca pembunuhan sampai anak-anak itu dewasa. Sebab, dibutuhkan biaya mahal. Lembaga yang menangani itu, misalnya, Komnas Perlindungan Anak atau lembaga lain, cuma saat diberitakan media massa.
Lembaga itu menangani korban cuma beberapa hari atau beberapa pekan, beberapa bulan, maksimal beberapa tahun. Tidak mungkin puluhan tahun sampai anak usia 24 tahun. Apalagi, sistem sekolah, tidak ada yang khusus menangani psikologis korban. (*)