REFLEKSI: SIAPA YANG AKAN MENYERAH?
Berdasar perspektif Clausewitz, pertanyaan pentingnya adalah bukan siapa yang menang secara militer. Namun, siapa yang akhirnya tunduk pada kehendak pihak lain. Perang tidak selalu diselesaikan di medan tempur, tetapi juga bisa di meja perundingan.
Dalam titik kelelahan politik dan ekonomi, salah satu pihak akan terpaksa mengubah kebijakan strategisnya. Iran, dengan kekuatan ekonomi yang terus tertekan oleh sanksi, akan lelah menghadapi tantangan berat.
Di sisi lain, Israel juga tidak akan kuat terhadap tekanan internal: konflik Palestina yang tak kunjung usai, polarisasi politik domestik, dan ancaman global yang makin kompleks.
Konflik Iran vs Israel memperlihatkan bagaimana dalam clash of wills, kekuatan militer hanyalah bagian dari permainan. Keuletan, ketahanan ekonomi, kestabilan politik, dan kecerdikan diplomasi memainkan peran yang teramat penting.
Semua itu dilakukan demi memaksakan kehendak dari dan/atau oleh salah satu pihak.
Apakah salah satu pihak akan menyerah? Atau, perang kehendak itu akan terus berlanjut dalam bentuk-bentuk baru? Clausewitz dengan tegas menyatakan, perang tidak akan pernah benar-benar usai. Ia hanya berubah wajah sesuai zamannya.
”The clash of wills” antara Iran dan Israel adalah cermin nyata dari filosofi Clausewitz tentang perang. Bukan hanya senjata, melainkan juga kehendak yang menjadi pusat dari konflik panjang yang terjadi.
Dalam dunia yang terus berubah, kedua negara itu tetap terikat dalam tarian berbahaya antara kekuatan dan kepentingan.
Pertanyaannya, siapa yang akan lebih kuat untuk bertahan? Atau, mungkinkah keduanya pada akhirnya akan menyadari bahwa kehendak yang dipaksakan melalui perang tak akan pernah menghasilkan perdamaian yang hakiki? Mungkin waktu yang akan menjawabnya. (*)
*) Mohamad Sinal adalah corporate legal consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.-Dok Pribadi-