HARIAN DISWAY - Sejak dini, banyak perempuan tumbuh dengan satu kalimat yang terus-menerus digaungkan: “Kamu harus kuat.” Kata-kata itu terdengar seperti pujian, namun perlahan berubah menjadi beban. Ketika dunia terus menuntut kekuatan dari mereka, siapa yang memperhatikan luka yang tak tampak?
Beban emosional perempuan bukanlah hal baru. Sejak kecil, banyak anak perempuan diajarkan untuk menjadi penengah ketika orang tua bertengkar, menjadi perawat saat saudara sakit, atau bahkan menjadi pendengar bagi ayah dan ibu yang sedang lelah.
Psikolog klinis dari Yayasan Pulih, Devie Rahmawati, menyebutkan bahwa perempuan lebih rentan dibebani tanggung jawab emosional keluarga sejak usia dini, akibat konstruksi gender yang menempatkan mereka sebagai "penjaga harmoni".
BACA JUGA: 5 Makna Gelang Hitam di Tangan Kanan Perempuan
Dalam keseharian, hal ini terlihat dari banyaknya perempuan muda yang merasa harus selalu tersenyum, bahkan ketika dunia di sekelilingnya runtuh.
Mereka diminta sabar, pengertian, tidak meledak-ledak. Padahal, setiap manusia memiliki ambang lelah dan kapasitas emosi yang terbatas. Namun bagi sebagian besar perempuan, menunjukkan kelelahan dianggap sebagai kelemahan.
Di sisi lain, tekanan terhadap tubuh perempuan semakin menumpuk. Standar kecantikan tidak hanya hadir di media sosial, tetapi juga dalam lingkungan terkecil seperti keluarga.
BACA JUGA: 4 Dampak Fatherless terhadap Anak Perempuan dan 3 Solusi Mengatasinya
Mulai dari komentar soal berat badan saat lebaran, hingga ekspektasi untuk selalu tampil menarik di ruang publik. Sebuah survei dari Dove Self-Esteem Project (2021) mengungkapkan bahwa 59% remaja perempuan merasa cemas terhadap penampilan fisik mereka karena media sosial, dan angka ini terus meningkat.
Di masyarakat patriarkal, perempuan memikul beban ini jauh lebih besar. --Freepik
Multitasking pun kerap menjadi ‘kemampuan wajib’ yang dimiliki perempuan. Mereka didorong untuk menjadi siswa teladan, pekerja tangguh, anak berbakti, sahabat penyemangat, sekaligus perempuan yang tampil menawan. Lalu, di mana ruang aman untuk sekadar mengaku lelah?
Isu-isu ini tidak jarang menjadi napas dalam karya musisi seperti Nadin Amizah. Dalam album Untuk Dunia, Cinta, dan Kotornya, ia tak segan menggambarkan pengalaman tubuh, luka, dan kemarahan yang sering terbungkam.
BACA JUGA: 7 Penyebab Umum Perempuan Sulit Dekat dengan Ibu Mertua
Lagu-lagunya menjadi ruang representasi atas perempuan yang tidak selalu kuat, yang juga berhak marah dan menangis. “Aku dibesarkan untuk bisa bertahan dalam ruangan yang penuh abu,” tulis Nadin dalam lirik lagunya.
Sayangnya, kesehatan mental perempuan sering tidak dianggap serius. -jasmina007-iStock