Perang Narasi Soal Iran Pascakonflik dengan Israel, Antara Cinta Negeri atau Ubah Rezim

Kamis 26-06-2025,16:02 WIB
Reporter : Doan Widhiandono
Editor : Noor Arief Prasetyo

BACA JUGA:Situs Nuklirnya Dibom AS, Iran Akan Hentikan Kerjasama dengan Badan Nuklir PBB, Ini Alasannya

Suara berbeda terdengar di Teheran. Di pasar Tajrish, di utara ibu kota, suasana mulai pulih pasca gencatan senjata. Namun banyak warga tetap waspada. “Saya tidak yakin gencatan senjata ini akan bertahan,” kata Ahmad Barqi, penjual alat elektronik berusia 75 tahun. “Kami ingin gencatan senjata, tapi mereka (Israel) tidak pernah menepati janji,” tambahnya

Alireza Jahangiri, pedagang lain di pasar itu, mengamini. Ia mengutip laporan media pemerintah bahwa Israel tetap melancarkan serangan udara meski gencatan senjata telah diumumkan. Meski begitu, pada hari itu, Selasa, 24 Juni 2025, tidak ada serangan udara yang tercatat di Tehran.

Di taman kota, warga memanfaatkan cuaca cerah. Mereka berkumpul. Damai.

Mereka yang tetap tinggal di ibu kota selama konflik, kini menikmati secuil ketenangan. Tapi, banyak pula para pengungsi yang masih gamang. Amir, warga berusia 28 tahun, untuk sementara waktu mengungsi ke wilayah utara Iran.


PEREMPUAN IRAN turun ke jalan untuk merayakan gencatan senjata dengan Israel di Alun-Alun Enghlab, Teheran, 24 Juni 2025. Warga beraksi untuk menyatakan cinta kepada tanah air.-ATTA KENARE-AFP-

“Saya membeku sesaat saat dengar Trump umumkan gencatan senjata lewat media sosial,’’ katanya. Amir memang layak bingung. Susah sekali memegang omongan Trump. ’’Ia bilang butuh dua minggu untuk memutuskan ikut perang atau tidak. Tapi tiba-tiba bom dijatuhkan di mana-mana. Sekarang tiba-tiba ada damai. Saya benar-benar bingung,” ujarnya lewat sambungan telepon.

Selama 12 hari krisis, kehidupan ekonomi di Teheran lumpuh. Banyak kantor pemerintah dan swasta tutup. Terutama di daerah-daerah rawan. Serangan Israel menghantam gedung-gedung publik dan fasilitas militer. Bahkan perumahan warga yang dihuni pejabat tinggi dan ilmuwan.

Ketegangan itu tidak hanya menjadi uji ketahanan fisik dan ekonomi. Tapi juga membelah opini publik. Sebagian warga, seperti Jahangiri, melihat prioritas utama adalah membalas agresi. "Saat perang, semua menderita secara ekonomi. Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan itu. Prioritas kita adalah membela negara tercinta," katanya.

Sementara itu, pemerintah Iran menyebut gencatan senjata tersebut sebagai “kemenangan” yang memaksa musuh mundur. Namun mereka menegaskan bahwa mereka tidak memercayai musuh sama sekali. ’’Kita tetap menjaga jari di pelatuk senjata. Agar bisa menyiapkan serangan balasan jika ada agresi baru,’’ katanya.

BACA JUGA:Data Intelijen Ungkap Serangan AS Gagal Hancurkan Situs Nuklir Iran, Trump Klaim Asal-Asalan?

BACA JUGA:Gencatan Senjata Akhirnya Tercapai, Iran: Operasi 'Menghukum' Israel Rampung

Dalam narasi itu, Iran menjadi panggung benturan dua dunia. Yakni, mereka yang berharap kepada stabilitas dengan mempertahankan tatanan yang ada dan mereka yang ingin membuka babak baru dengan mengubah segalanya.

Di antara suara-suara itu, Donald Trump memainkan peran ambigu. Mengobarkan api dengan satu tangan sekaligus menawarkan pemadam dengan tangan lainnya.

Narasi itu belum selesai. Di medan diplomasi dan opini publik, perang belum berakhir. Dan Iran tetap menjadi teka-teki yang belum terpecahkan di mata dunia. (*)

 

Kategori :