NIAS SELATAN, HARIAN DISWAY - Di sebuah desa kecil bernama Hilisimaetano, Nias Selatan, gema suara leluhur kembali menggema.
Bukan lewat gaung nostalgia, melainkan melalui arsip rekaman suara dan visual. Arsip yang telah hilang dari tanah itu selama hampir satu abad.
Arsip itu kini telah kembali ke pangkuan pemiliknya. Itu merupakan momen langka yang sarat makna, emosional, dan sejarah budaya.
BACA JUGA:Dua Panggung Kreatif Aston Inn Jemursari di Hari Musik Dunia: June Jazz & ArtBeat 2025
Adalah Dr Barbara Titus, seorang etnomusikolog dari Universitas Amsterdam, yang menjadi pembawa kabar baik tersebut.
Dalam kunjungannya ke Nias dari 25 Juni hingga 9 Juli 2025, ia membawa serta potongan warisan suara masyarakat Nias yang terekam oleh Jaap Kunst pada tahun 1930.
Rekaman-rekaman yang semula tersimpan rapi di institusi akademik Belanda, kini kembali ke pelukan komunitas asalnya.
BACA JUGA:Sinopsis Film Angel Pol, Ketika Hidup Amburadul dan Musik Dangdut Jadi Satu-Satunya Jalan Keluar
Jaap Kunst merupakan pionir etnomusikologi, yang bersama istrinya Katy Kunst van Wely, mendokumentasikan kekayaan musik Hindia Belanda.
Salah satu rekamannya yang paling berharga berasal dari Nias. Merekam suara nyanyian tradisional Hoho yang direkam menggunakan silinder lilin. Rekaman itu menjadi arsip audio tertua dari wilayah tersebut.
Namun repatriasi itu bukan sekadar pemindahan file digital. Dalam kuliah umum bertajuk "Suara yang Pulang" di Desa Hilisimaetano pada 29 Juni 2025, Barbara menjelaskan bahwa langkah itu merupakan bagian dari upaya dekolonisasi pengetahuan dan perlawanan terhadap pandangan eurosentris.
BACA JUGA:Swingin' Tanjung Perak Jazz Festival 2025, Hadirkan Musik Jazz dan Teatrikal Sejarah
“Ini bukan hanya soal arsip. Ini tentang mengembalikan narasi kepada pemilik aslinya,” tegasnya.
Inisiatif itu bermula dari seorang putra daerah, Doni Kristian Dachi, peneliti independen asal Nias, yang menghubungi Barbara setelah membaca berita serupa dari wilayah lain.
Gayung bersambut, kolaborasi pun terjalin. Barbara tidak datang sendirian. Ia ditemani oleh Rani Jambak, musisi dan peneliti yang sedang menempuh studi doktoral di Universitas Gadjah Mada dan Universiteit van Amsterdam.