Sukses Jawa Pos tak lepas dari kepemimpinan Dahlan Iskan. Tegas, one man show, mendasari keputusan pada naluri bisnis yang tajam dan kerja keras. Gaya Dahlan Iskan itulah yang kemudian banyak ditiru anak buahnya di Jawa Pos.
Rata-rata wartawan di Jawa Pos militan. Tak kenal lelah, kejar berita sampai dapat, tidak pernah libur, hingga tidur di kantor menjadi kebiasaan yang jamak dilakukan banyak orang. Saya sendiri termasuk kelompok yang sering tidur di kantor.
Bahkan, ada seorang senior yang menjadi kepala biro di Jakarta yang tidak libur setahun penuh. Saya bandingkan dengan orang kantoran yang setiap awal bulan selalu memantau tanggal merah di luar Sabtu dan Minggu, bekerja di Jawa Pos, kalendernya hitam semua.
BACA JUGA:Sufmi Dasco-Raffi Ahmad Bertemu Dahlan Iskan di Kantor Disway, Ini yang Dibicarakan
BACA JUGA:Pesan Dahlan Iskan untuk ICCWA di Perth: Jangan Balik ke Indonesia!
Gaya manajemen akal sehat ala Dahlan Iskan akhirnya sukses membawa Jawa Pos menjadi koran terbesar kedua di Indonesia. Bahkan, kalau dihitung dengan jaringan media yang tersebar di seluruh Indonesia, mungkin Jawa Pos Group adalah yang terbesar.
Dari sebuah koran kecil menjadi raksasa media, bahkan ekspansi bisnisnya ke mana-mana: percetakan, pabrik kertas, properti, hingga biro perjalanan wisata. Dahlan Iskan pun dijuluki Rupert Murdoch-nya Indonesia.
Karena itu, hampir seluruh karyawan Jawa Pos tak mengenal sosok lain di perusahaan, selain Dahlan Iskan. Paham bahwa ada pemegang saham lain yang di antaranya ada yang duduk sebagai komisaris seperti Goenawan Mohamad dan Ibu Dorothea Samola (istri mendiang Eric Samola).
Namun, karyawan jarang bertemu dan tidak begitu mengenal mereka. Jadi, bagi kami, karyawan, big boss-nya hanya satu: Dahlan Iskan.
Awal tahun 2000, setelah 18 tahun memimpin Jawa Pos, Dahlan Iskan mulai berpikir tentang regenerasi. Dahlan ingin memastikan keberlanjutan usaha Jawa Pos. Pembaca Jawa Pos mulai bergeser ke kalangan pembaca muda.
Karena itu, gaya redaksional Jawa Pos pun idealnya juga harus menyasar segmen muda. Saya tidak tahu persis bagaimana prosesnya, putra Dahlan Iskan, Azrul Ananda, mulai masuk ke Jawa Pos pada awal 2000. Tak lama setelah lulus sarjana marketing dari California State University, Sacramento.
”Mas Tofan, ya? Saya Azrul. Saya diminta Abah belajar kepada dua orang: Mas Tofan dan Mas Imron Mawardi,” kata Azrul saat kali pertama memperkenalkan diri. Imron Mawardi yang dimaksud saat itu adalah ”pimpro” suplemen anak muda dan gaya hidup, DETEKSI.
Imron lebih awal dari saya meninggalkan Jawa Pos. Sekarang Imron adalah salah seorang guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga.
”Kita sama-sama belajar, Mas,” kata saya. Saya cukup akrab pada awal kedatangan Azrul di Surabaya, beberapa kali diajak ngobrol ke apartemennya.
Tentu saja saya lebih banyak menjadi pendengar, ingin mendalami pemikiran-pemikirannya tentang prospek industri media saat itu dan di masa yang akan datang. (*)