Ia bercerita soal kamar hotel yang tinggi, pemandangan Surabaya dari balik jendela, dan celoteh penonton sahut-menyahut menimpali.
Lagu Tanam membawa kejutan saat penonton menyahut dengan nyanyian "tanam-tanam ubi." Menciptakan momen lucu yang tak terduga.
BACA JUGA:Tanjung Perak Jazz 2025, Jazz di Atas Tank dan Irama Sejarah di Museum TNI AL
Disusul Belum Ada Judul. Suasana berubah menjadi reflektif dan syahdu: Pernah kita sama-sama rasakan, panasnya mentari hanguskan hati...
Disusul teriakan membakar: Penguasa... penguasa... berilah hambamu uang!-Pingki Maharani-Harian Disway
Iwan berbagi filosofi: bahwa konser bisa menjadi ruang hening, tempat pulang dari sekolah, kerja, dan kehidupan, asal bukan untuk jadi penjahat. "Harus ancur dulu baru bagus, ya," gumamnya.
Intro harmonika membuka lagu Nak. Suasana langsung berubah sendu. Penonton menyanyikan bersama: Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar bahkan mungkin gelap...
BACA JUGA:International Golo Mori Jazz 2025: Maliq & D'Essentials Bikin Romantis, Tohpati Kenang Elfa Secioria
Beberapa penonton tampak menangis. Yang lain membaca lirik di layar ponsel agar tak tertinggal. Sore Tugu Pancoran dan Ibu menjadi kombinasi yang membangkitkan memori:
Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu... Dan: Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, lewati rintang untuk aku, anakmu...
Iwan menyentuh hati penonton, bertanya, "Ibunya masih sehat? Jaga baik-baik. Kalau udah meninggal, semoga berjumpa di surga."
Aransemen rancak kembali muncul pada lagu Buku Ini Aku Pinjam. Penonton pun ikut bernyanyi dan melompat.
Cerita pun mengalir tentang masa sekolah, "Beberapa lagu ini aku tulis saat masih sekolah. Tapi aku enggak punya ijazah," kata Iwan. Ia melanjutkan, "Enggak apa-apa Bu Susi belum lulus udah punya pesawat!"
Lagu Entah membawa suasana tenang: "Seperti biasa, aku diam tak bicara..." Disusul teriakan membakar: "Penguasa... penguasa... berilah hambamu uang!." Ya, Pesawat Tempur.