Awalnya adalah Februari 2024. Mahasiswa kedokteran di Korea Selatan (Korsel) protes serentak. Mereka mogok kuliah. Tapi, demo panjang mereka tak digubris pemerintah. Apa yang mereka protes?
PULUHAN ribu mahasiswa kedokteran berhenti masuk kelas. Mereka memboikot diri dari sejumlah universitas tempat menimba ilmu.
Tak hanya itu. Sebagian besar dokter residen juga terlibat. Mereka bahkan mundur bareng. Surat resign menumpuk bersamaan.
Miris. Korsel langsung kehilangan tenaga medis sebanyak itu dalam satu waktu. Lalu, bagaimana dengan nasib pasien yang menunggu di bangsal rumah sakit?
BACA JUGA:4 Tradisi Merayakan Black Day 14 April ala Jomblo Korea Selatan
BACA JUGA:Kebakaran Hutan Korea Selatan Renggut 27 Jiwa, Terbesar dalam Sejarah
Pilihan yang berat. Namun, bagi para dokter itu, jalan tersebut harus diambil. Sebab, visi pemerintah membuat komunitas medis khawatir. Masa depan profesi mereka serta kualitas layanan kesehatan jadi tampak suram.
Bagaimana tidak? Pemerintah Korsel berencana menambah jumlah kuota penerimaan mahasiswa kedokteran secara drastis. Awalnya sekitar 3 ribu menjadi 5 ribu. Alasan itu masuk akal. Sebab, meski Korsel cukup maju, rasio dokter per pasien cukup rendah. Populasi lansia juga meningkat pesat. Korsel butuh lebih banyak tenaga medis. Terutama di daerah pedesaan dan di bidang spesialisasi yang kurang diminati.
Dengan isu itu, pemerintah punya alasan valid untuk menambah kuota mahasiswa kedokteran.
Namun, para dokter residen dan mahasiswa menentang keras. Mereka punya kekhawatiran tersendiri. Kurangnya dosen, fasilitas, dan tempat magang di rumah sakit hanya akan menghasilkan dokter yang kurang kompeten. Belum lagi ditambah dengan persaingan ketat yang akan muncul.
DOKTER MUDA yang tak membuka identitasnya berbicara kepada jurnalis di Seoul, 5 Maret 2025. Dia menjelaskan alasan demonstrasi para dokter dan mahasiswa.-JUNG YEON-JE-AFP-
Menurut mereka, masalah utama bukan kuantitas tenaga medis. Tapi distribusinya.
Dokter enggan bekerja di pedesaan atau di spesialisasi tertentu seperti anak dan kandungan. Anggapannya: gaji rendah, jam kerja brutal, dan tinggi risiko malapraktik.
Boikot sejak 2024 itu menyebabkan banyak rumah sakit besar lumpuh. Ribuan operasi dan pengobatan tertunda karena dokter residen, yang merupakan tulang punggung operasional rumah sakit, mogok kerja.
Hasilnya sebenarnya sangat disayangkan. Sudah 17 bulan aksi protes itu. Tapi, pemerintah ogah mendengarkan.