Tren semacam itu bisa memancing fenomena body shaming digital. Yakni mengolok-olok orang berdasarkan pengalaman seksual mereka.
BACA JUGA:Rewatch 3 Drama Korea yang Dibintangi Yeri Red Velvet, yang Terbaru Bitch x Rich
Ada 3 pelajaran yang bisa diambil dari tren tersebut. Pertama, visualisasi fiksi ternyata memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk kebiasaan digital.
Hanya dalam hitungan hari, garis merah fiksi berubah menjadi objek lelucon, tantangan, bahkan kontestasi moral di dunia nyata.
Kedua, tren itu menjadi pengingat bahwa media sosial harus mewajibkan batasan antara fakta dan fiksi, antara apresiasi visual dan pelanggaran privasi.
BACA JUGA: 5 Tips Jitu Atasi Burnout Ala Jung So Min di Drama Korea Love Next Door
Ketiga, di tengah gempuran tren viral, kecerdasan dalam memilah konteks menjadi kunci. Garis merah S‑Line bukan milik dunia nyata. Namun, simbol karya fiksi yang tiba-tiba mampu memicu kontroversi digital.
Garis merah S‑Line di atas kepala bukan sekadar efek visual. Ia menyimpan makna yang lebih dalam: penanda pengalaman, simbol moral, dan refleksi kultur privasi.
Tren ini menjadi viral bukan hanya karena visualnya menarik, tapi juga karena menyentil isu sensitif terkait seksualitas dan privasi. -@kdrama_menfess-X
Tren itu tentu menarik untuk diikuti, selagi kita tetap ingat untuk mengamati setiap simbol fiksi dengan kritis, menjaga batas antara hiburan digital dan nilai nyata.
BACA JUGA: Sinopsis Drama Korea Wonderful World, Cha Eun Woo Terlibat Balas Dendam
Fenomena S‑Line adalah contoh bagaimana budaya populer dengan cepat menyentuh realitas sosial. Itu menantang kita untuk bertanya: apakah harus semua aspek kehidupan dipamerkan dalam satu frame? (*)
*) Mahasiswa magang dari Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Surabaya.