DRAMA tentang dunia bulu tangkis akan selalu mendapat tempat di hati fans Indonesia. Maklum, bulu tangkis merupakan olahraga terpopuler nomor dua setelah sepak bola. Kalau tidak ada kesalahan akurasi yang menghina Indonesia, Racket Boys tidak akan dihujat habis-habisan. Kali ini, ada Going to You at a Speed 493 km. Atau disebut juga Love All Play.
Tidak seperti Racket Boys yang mengangkat bulu tangkis di level amatir, kisah Love All Play berpusat di kalangan pemain profesional. Dua tokoh utamanya, Park Tae-yang (diperankan bintang Extracurricular dan Mouse Park Ju-hyun), dan Park Tae-joon (bintang Nevertheless, Chae Jong-hyeop), sama-sama berusia 24 tahun. Atau 25 tahun dalam hitungan usia Korea.
Mereka adalah anggota klub Yunis. Park Tae-yang merupakan mantan rising star yang mundur dari pelatnas karena rumor suap. Sebaliknya, Park Tae-joon masih punya potensi menjadi pemain timnas. Namun, ia sudah kehilangan passion terhadap bulu tangkis. Ia bergabung dengan Yunis karena dibayar KRW 60 juta (hampir Rp 700 juta) per tahun.
Konflik Dewasa, Romance Remaja
Dari premis di atas, sudah ketahuan bahwa Love All Play sarat akan muatan drama. Apalagi, rumor suap yang menimpa Park Tae-yang melibatkan sosok misterius bernama Jun-young. Dulu, mereka sama-sama pemain andalan timnas. Namun, entah kenapa, Jun-young mundur. Dan menghilang dari badminton Korea. Sedangkan Park Tae-yang dituduh menyuap federasi.
Meski baru berupa rumor, Park Tae-yang langsung menjadi pariah di komunitas bulu tangkis Korea yang terbatas. Pemain junior menyesal pernah mengidolakan dia. Sedangkan para senior di Yunis tak segan merundung dia. Dia dianggap sangat hina karena pernah menyuap.
’’Menyuap katanya. Kayak aku punya duit saja,’’ gumam Park Tae-yang. ’’Pasti aku dianggap kaya raya sampai bisa menyuap federasi. Sungguh image yang bagus,’’ imbuh dia pahit. Rumor suap itu sebenarnya ditepis oleh Yook Jung-hwan (Kim Moo-joon), pemain bintang Yunis yang juga anggota pelatnas. Tampaknya, ia tahu alasan di balik kasus ’’suap’’ Park Tae-yang.
Di sisi lain, Park Tae-joon memiliki rahasia tersendiri. Pada awal episode perdana, ia boikot di tengah pertandingan turnamen antarklub. Ia menyatakan pensiun dari bulu tangkis. Kemudian melamar menjadi pelatih di berbagai instansi. Namun gagal terus. Semua pelatih senior sepakat, ia masih potensial sebagai pemain.
Nah , dari segi cerita, bukankah masalah-masalah yang dihadapi duo Park itu lumayan berat? Yang satu merelakan dirinya menjadi sasaran bully senegara. Demi melindungi entah apa. Yang satu lagi bergelut dengan motivasi yang hilang. Serta kegamangan menghadapi masa depan dalam dunia yang dulu sangat dicintai.
Meski konfliknya dewasa banget—ini problem level profesional—sutradara Jo Woong dan penulis Heo Sung-hye tetap membuat nuansa drama ini sangat remaja. Terutama lewat romansa Park Tae-yang dan Park Tae-joon.
Meski sudah sama-sama berusia 24, interaksi mereka seperti anak SMA. Manis, cute. Kadang agak cringe. Tapi lucu. Aksi Park Tae-joon mengejar Park Tae-yang benar-benar khas anak muda. Petrus. Pepet terus! Jangan kasih kendor! Ada humor tipis-tipis. Tidak sampai membuat ngakak. Tapi cukup buat memancing blushing di pipi.
Aksi di Lapangan
Secara umum, dua episode pertama Love All Play cukup asyik dinikmati. Meskipun konfliknya berat dan agak all over the place—terlalu banyak tokoh yang berkepentingan—semua dijelaskan dengan oke lewat pengenalan karakter yang runtut. Penonton dibuat paham duduk persoalannya. Meskipun apa yang terjadi pada Park Tae-yang masih misterius.
Semua tokoh pada drama ini unik. Tidak ada yang biasa-biasa saja. Park Tae-joon dan Yook Jung-hwan adalah jenis cowok-cowok percaya diri yang tengil. Mereka tahu diri mereka hebat. Jadi enggak apa-apa kalau sombong gara-gara kelebihan masing-masing.