Tata cara gema suara yang wajar itu sekaligus menjadi otokritik terhadap banyak pihak yang selama ini terjebak dalam kegiatan karnaval, tetapi menggunakan sound horeg yang melampaui batas.
Di samping itu, proses pelaksanaan karnaval seperti apel tahunan ponpes Al Amien Prenduan hanya mengandalkan pada swadaya pendanaan dari kalangan santri dan internal pesantren. Namun, upaya tersebut tetap menghasilkan sebuah reportoar seni pertunjukan yang sangat berkesan di hati masyarakat.
Hal itu pun menjadi kritik keras terhadap pemerintah daerah yang gemar melaksanakan karnaval maupun festival tahunan yang menelan anggaran negara hingga ratusan miliar rupiah.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, pesantren memberikan ruang berekspresi bagi para santri melalui dunia pertunjukan, tentu menjadi modal sosial bagi peningkatan kapasitas dan kapabilitas pesantren dalam merespons perkembangan dunia luar.
Bahkan, dunia pertunjukan bisa menjadi sebuah tuntunan milenial dalam memperkenalkan khazanah pesantren kepada generasi Z, alfa, dan generasi digital lainnya.
Setidaknya, seni pertunjukan yang dieksplorasi para santri bisa merevitalisasi berbagai warisan dan nilai luhur kepesantrenan yang bersumber pada para pendiri dan pengasuhnya yang bisa menjangkau gaya dan selera berpikir kaum milenial.
Pesan-pesan moral dalam kitab Ta’limul Muta’aalim yang selama ini hanya bisa melekat pada generasi tertentu yang sezaman dengan pengasuh dan pendiri pesantren bisa diadaptasi ulang menjadi sebuah reportoar pertunjukan yang bisa dicecap dan diresapi pula oleh generasi milenial.
Dalam kaitan ini, kegiatan apel tahunan yang dilaksanakan pondpes Al Amien Prenduan dengan cara parade unjuk kebolehan yang diawali di lingkup pesantren dan menyusuri sepanjang jalan raya provinsi hingga berkilometer menjadi salah satu rujukan valuegrafi pertunjukan yang di satu sisi menyajikan tontonan yang menghibur dan di sisi lain mengedepankan nilai-nilai etis yang berjalin kelindan dengan norma sosial, agama, dan negara.
IDENTITAS KESANTRIAN
Valuegrafi pertunjukan yang diekspresikan pondok pesantren dalam bentuk karnaval, parade berbaris, unjuk busana etnis, dan kebolehan lainnya merupakan upaya rekonstruksi identitas masyarakat Islam dengan berbagai langgam penampilan.
Dengan kata lain, meminjam cara pandang Helene Bouvier dalam buku Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, kegiatan karnaval yang dilaksanakan pondok pesantren tidak sekadar berfungsi sebagai hiburan.
Akan tetapi, kegiatan karnaval seperti apel tahunan di Al Amien Prenduan sekaligus menjadi cermin identitas kesantrian, subkultur kepesantrenan, dan makna simbolis ajaran keislaman, kemasyarakatan, dan keindonesiaan dalam satu tarikan napas.
Di samping itu, seni pertunjukan pesantren menjadi semacam ”perlawanan budaya” terhadap ruang-ruang karnavalitas yang selama ini hanya direduksi sebagai unjuk hedonisme, selfisme, dan kehura-huran berlebih yang nirkeadaban yang selama ini banyak dipertontonkan oleh berbagai karnaval dalam hajatan masyarakat luar pesantren.
Melalui kanalisasi bakat kesantrian yang termanifestasi dalam seni pertunjukan berbasis karnaval, pesantren makin menemukan ruang kristalisasi ajarannya yang sesuai dengan perkembangan zaman dan selerasi generasi milenial.
Setidaknya, rajutan ukhuwah kebinekaan dan membangun peradaban –sebagaimana tecermin dalam tema apel tahunan– menemukan akselerasi pesan moralnya di ruang berkesenian yang berjalin kelindan dengan ruang-ruang pendidikan dan pengajaran keagamaan lainnya. (*)
*) Fathorrahman Ghufron adalah guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan alumnus Ponpes TMI Al Amien Prenduan tahun 1995 (Reformieca).-istimewa-