Sekali lagi, hal itu disinggung dalam tesis Ocemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail. Mengapa bisnis ekstraktif lebih cenderung bertahan lebih lama? Sebab, bisnis ekstraktif yang bertumpu pada eksplorasi sumber daya alam mentah didukung lembaga politik yang sumber finansialnya dari perburuan rente sektor ekstraktif pula.
Sejarah telah mencatat bahwa perilaku serakahnomics pernah menggerogoti Pertamina pada pertengahan tahun 1980-an sehingga nyaris bangkrut. Padahal, saat itu Indonesia sedang dalam era keemasan oil boom sebagai salah satu pengekspor minyak terbesar.
Akan tetapi, ditopang oleh institusi politik yang terpusat, elite kekuasaan tunggal terbukti gagal menjalankan amanah untuk menyejahterakan rakyat.
Tersirat adanya pesan penting yang disampaikan Prabowo mengapa narasi serakahnomics sampai diulang dua kali pada kesempatan berbeda dalam waktu yang berdekatan jika tidak mengandung maksud tertentu. Setidaknya, terdapat tiga isyarat yang menjadi fokus besar pemerintah.
Pertama, spirit perang melawan korupsi tetap pada prioritas tertinggi. Hal itu mengingat kejahatan kerah putih tersebut menjadi masalah sangat krusial di Indonesia. Sebab, berdasar data BPS 2024, Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia masih sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5.
Kedua, semangat menggenjot pertumbuhan ekonomi sesuai yang ditargetkan dengan meminimalkan ketimpangan pemerataan kesejahteraan. Terkonsentrasinya kekayaan negara pada segelintir elite ekonomi justru akan menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, penguatan artikulasi semangat melawan serakahnomics menjadi momentum penguatan keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil dalam menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan menjauhi praktik-praktik bisnis kotor sebagaimana yang dilakukan para vampir ekonomi. (*)
*) Sukarijanto adalah pemerhati kebijakan publik dan peneliti di Institute of Global Research for Economics, Entrepreneurship and Leadership dan kandidat doktor di School of Leadership Fakultas Pascasarjana Universitas Airlangga.