Pesan Tersirat di Balik Gaung Melawan Serakahnomics

Senin 04-08-2025,05:33 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Penghematan dilakukan karena kabinet pemerintahan ini memang sedang membutuhkan bujet superjumbo untuk menjalankan sejumlah programnya. 

Anggaran yang dipangkas akan digunakan untuk program pemerintah seperti makan bergizi gratis, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, sampai dengan penghematan devisa. 

Penghematan yang ditekankan Prabowo tergolong sangat banyak, yakni mencapai Rp 306 triliun. Pemangkasan anggaran secara nasional hingga mencapai kurang lebih Rp 306,69 triliun, penghematan tersebut menyasar beberapa target pengetatan pada kementerian dan lembaga (K/L) sebesar Rp 256,1 triliun dan transfer ke pemerintah daerah sebesar Rp 50,59 triliun.

Pada fase itu, desain anggaran telah menyiratkan sebuah energi besar bangsa ini untuk diarahkan menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen. 

Ironisnya, di saat energi dan segala sumber daya bangsa ini terforsir demi menggapai target pertumbuhan yang dipatok, meletus aksi kejahatan korporasi yang merugikan negara ratusan triliun, bahkan ribuan triliun, yang dilakukan oknum-oknum pemegang amanah rasanya sungguh menyesakkan dada. 

PEMERATAAN KESEJAHTERAAN 

Dalam pidatonya, presiden telah menyinggung beberapa kali bahwa para pelaku serakahnomics itu ibarat ”vampir-vampir ekonomi” yang mengisap darah rakyat dengan cara memanipulasi harga, eksploitasi pasar, penguasaan rantai pasok ke dalam jaringan kartel, dan pengingkaran terhadap amanah sosial dan merampok kesejahteraan masyarakat kurang sejahtera.

Ekonom pemenang nobel Daron Acemoglu dan James Robinson dalam karyanya, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, menegaskan bahwa kemakmuran suatu negara bergantung pada lembaga politik dan ekonominya. 

Negara akan gagal apabila institusi yang berlaku hanya menguntungkan segelintir elite dan menindas partisipasi serta inovasi masyarakat secara luas. Solusinya bukan sekadar bantuan atau pertumbuhan ekonomi sementara, melainkan reformasi institusional yang mendalam dan inklusif. 

Kegagalan institusi bernama negara untuk membangun fondasi kemakmuran melalui distribusi pemerataan kekayaan akan membawa konsekuensi tersendatnya pertumbuhan ekonomi. 

Bahkan, dalam kondisi ekstrem, akan memunculkan ketimpangan kesejahteraan akibat pemusatan pertumbuhan ekonomi pada kelompok tertentu.

Sulit untuk dielakkan bahwa di aspek penguasaan ekonomi saat ini sangat disadari ada disparitas yang amat mencolok. Penguasaan sumber daya ekonomi (dan politik) yang tumpang tindih dan berlarut hingga saat ini dipicu karena kelompok oligarki memiliki immunity to change (Hadiz, 2013, Robison, 2004). 

Majalah The Economist 2023 memaparkan sebuah laporan yang dirangkum dalam The Crony Capitalism Index yang secara berkala yang pada 2023 merilis hasil investigasi perburuan rente (rent-seeking) yang terjadi di Indonesia. 

Terungkap, praktik-praktik kronisme dalam perburuan rente membuat ekonomi Indonesia berjalan tidak efisien dan bersirkulasi pada kelompok tertentu yang itu-itu saja. Distribusi pendapatan negara dinikmati 20 persen kelompok masyarakat terkaya. 

Sementara itu, 80 persen penduduk –atau lebih dari 225 juta orang– rawan tertinggal. Terlebih, dengan fakta mencengangkan, 50 orang terkaya di Indonesia (2023) tercatat tumbuh fantastis, kekayaannya meningkat 40 persen menjadi USD 252 miliar atau ekuivalen Rp 3.906 triliun (asumsi kurs Rp 15.500/dolar AS) dari semula USD 180 miliar (Rp 2.790 triliun). Artinya, kekayaan konglomerat RI terdongkrak sebesar Rp 1.116 triliun dalam kurun waktu satu tahun!

The Economist juga mengungkap fakta bahwa jumlah harta kekayaan orang terkaya di Indonesia mencapai 6 persen dari PDB, di mana 4 persen terlibat praktik kronisme. Terlebih, setengah dari 50 orang terkaya berkecimpung di sektor bisnis ekstraktif. 

Kategori :