Kedua belas seni tersebut terpajang di beberapa bangunan. Acara itu dipandu oleh Am Seno Poland, perwakilan salah satu komunitas seni di Surabaya bernama Artchemist.
BACA JUGA:KKN BBK 6 UNAIR Tanamkan Kreativitas Anak dalam Program OSAKA di Desa Kalikatir, Mojokerto
Dalam acara walking tour sekaligus menjelajahi karya seni itu, para peserta juga diajak mempelajari sejarah dan budaya masyarakat Kampung Pecinan Tambak Bayan.
Termasuk beberapa bangunan cagar budaya di sekitarnya. Halaman luar dari bangunan Hotel Vini Vidi Vici pun turut menjadi jujugan para peserta internasional dalam CULIT 2025 tersebut.
Salah satu karya seni yang menarik di bangunan hotel itu adalah lukisan naga yang memakan ekornya sendiri. Gambar ekor itu memiliki makna. Yaitu orang Tionghoa yang memakan bangsanya sendiri.
BACA JUGA:Tim Mahasiswa UNAIR Sabet Gold Medal dan IYSA Semi Grand Award Lewat Inovasi Game SIHHIYA
Lukisan itu menghiasi tembok yang lokasinya tak jauh dari pintu masuk hotel. Tepatnya, di dekat area tempat parkir.
Anda sudah tahu, Kampung Pecinan Tambak Bayan memiliki penduduk yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa.
“Selama bertahun-tahun, seharusnya warga lokal yang berhak mengajukan surat resmi pembangunan ke pengadilan. Hotel ini yang pemiliknya bukan dari warga sini, ujug-ujug mengantongi 2 SHGB. Lalu dijadikan alat bukti di pengadilan,” ungkap Seno yang merupakan warga asli Kampung Pecinan Tambak Bayan generasi ke-3. Ia menjelaskan panjang lebar saat walking tour CULIT 2025 di area parkir hotel.
BACA JUGA:HITEX 2025: Unair Pamerkan Riset yang Berdampak
Lukisan naga yang lokasinya tak jauh dari area Hotel Vini Vidi Vici. - Subastian Salim - Harian Disway
Sebenarnya, masih banyak karya seni tersembunyi berupa mural. Menghiasi beberapa bangunan pada bilik-bilik kampung.
Namun, gambar naga dekat hotel itu mungkin dapat menjadi salah satu jalan dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya memperjuangkan hak masyarakat lokal. Khususnya terkait sengketa wilayah di Kampung Pecinan Tambak Bayan Surabaya.
“Para tuan tanah datang silih berganti. Mereka membawa serta beragam pertanahan kota, meteran, dan mematok satu demi satu rumah warga. Seakan kampung ini kosong tak berpenghuni," tulis keterangan dalam lukisan naga memakan ekornya itu.
BACA JUGA:Rekayasa Jaringan Buatan, Harapan Baru dari Laboratorium Unair
"Atas nama developmentalisme yang usang, para penguasa kota memperluas labirin ciptaannya. Menjebak kita di dalam permainan mereka,” tambah keterangan tersebut.