SUNGGUH tak gampang membuat peristiwa kesenian hadir secara konsisten setiap tahun. Salah satunya adalah ArtJog. Festival seni kontemporer terbesar di Indonesia itu telah berlangsung 18 kali di Jogja National Museum (JNM). Selama dua bulan (20 Juni–31 Agustus 2025).
Saya selalu berusaha hadir setiap event itu berlangsung. Biasanya saat pembukaan. Tapi, tahun ini saya mengunjunginya akhir pekan kemarin. Di ujung peristiwa seni yang setiap tahun dikunjungi puluhan ribu orang itu. Dan konon, menurut riset independen, multiplier effect ArtJog telah menembus angka Rp 5,2 triliun.
Bagaimana festival kesenian tersebut bisa bertahan sampai sekarang? ”Karena sudah menjadi kebutuhan. ArtJog ini adalah kanvas saya sebagai seniman,” kata Heri Pemad, penggagas sekaligus penyelenggara ArtJog. Kanvas adalah media lukis yang menjadi alat untuk mengekspresikan karya.
BACA JUGA:20 Tahun Berlakon, Reza Rahardian Bercerita dengan Raga di ARTJOG 2025
BACA JUGA:The Last Survivors FX Harsono di ARTJOG 2025: Saat Sunyi Lebih Lantang dari Sorak
Heri Pemad memang seorang seniman. Ia jebolan ISI Yogyakarta. Pria dengan nama asli Heriyanto itu mulai menekuni dunia seni sebagai pelukis. Namun, ia menjadi besar namanya sebagai penyelenggara peristiwa seni. Ia menjadikan peristiwa seni yang diciptakan sebagai ekspresi keseniannya.
ArtJog kali pertama digelar 2008 dengan nama Jogja Art Fair (JAF). Kini, sebagai pameran seni kontemporer, ArtJog bukan sekadar agenda rutin. Ia menjelma menjadi ritual kebudayaan. Ditunggu banyak orang. Mulai seniman muda, kurator, kolektor, mahasiswa seni, penikmat budaya, hingga masyarakat umum yang hanya ingin selfie di tengah karya instalasi.
Menariknya, Heri Pemad tak pernah melihat ArtJog sebagai ladang uang. Ia mengaku tak pernah mendapat keuntungan finansial pribadi dari event itu. Padahal, dampak ekonominya luar biasa.
BACA JUGA:Lebaran Seni Artjog
BACA JUGA:Begok Oner di ARTJOG 2025: Puisi dalam Reruntuhan, Cahaya dari Ingatan
”Kalau orientasinya uang, saya sudah berhenti sejak lama,” ujarnya.
Selama event berlangsung, ia hanya bergantung kepada sponsor dan tiket penonton. Tidak pernah mengandalkan bantuan pemerintah. Kalaupun ada, hanya kecil. Bagaimana dengan hasil penjualan karya? Jika ada, itu pun juga tak besar. ”Karena ini festival. Dan berapa sih bagi hasilnya?” tutur Heri Pemad.
Setiap tahun ia harus membangun konstruksi baru. Untuk menyediakan ruang berkarya para seniman undangan atau comission. ”Dulu ini jadi tempat hantu. Sekarang ramai meski tak ada ArtJog,” tambahnya sambil menunjuk MBloc yang ada di belakang JNM.
BACA JUGA:Pau Ma Lu di ARTJOG 2025 Membaca Keheningan Lewat Lukisan
BACA JUGA:Sal Priadi Merasa Tertampar saat Mengunjungi Pameran Seni ARTJOG 2025