Layar Tua, Samudra Baru: 80 Tahun Indonesia di Panggung Dunia

Selasa 19-08-2025,13:54 WIB
Oleh: Eko Ernada*

DELAPAN PULUH tahun adalah waktu yang cukup untuk menguji ketahanan sebuah bangsa, seperti layar tua yang telah menempuh berbagai musim dan gelombang. Indonesia, dengan segala riwayatnya, berangkat dari dermaga proklamasi menuju samudra global, mengarungi riak-riak kecil dan badai besar. 

Dari pusaran kolonialisme menuju tata dunia multipolar, dari teriakan kemerdekaan menuju bisik diplomasi di ruang-ruang perundingan, kita terus berlayar –menempuh arah di antara arus kepentingan yang saling berlawanan. 

Namun, pertanyaannya, di tengah dunia yang makin terhubung tetapi retak dalam polarisasi, masihkah kita setia menjaga haluan yang ditetapkan para pendiri bangsa? Atau, layar tua itu harus belajar mengatur tali-temali baru agar tetap tegak di tengah badai yang datang dari arah tak terduga?

BACA JUGA:Nilai-Nilai Pancasila dan 80 Tahun Indonesia Merdeka

BACA JUGA:80 Tahun Merdeka, Quo Vadis Pendidikan Nasional?

Sejarah diplomasi Indonesia selalu berangkat dari prinsip ”bebas dan aktif”. Pada era awal kemerdekaan di bawah Soekarno, prinsip itu menjelma menjadi sikap antikolonial yang lantang. Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 menjadi panggung bagi bangsa-bangsa terjajah untuk bersuara setara di tengah dominasi Blok Barat dan Timur. 

Kemudian berlanjut dalam pembentukan Gerakan Nonblok, menjadikan Indonesia salah satu jangkar moral dunia yang menegaskan bahwa kemerdekaan harus berarti kedaulatan dalam menentukan nasib sendiri.

Memasuki Orde Baru, arah layar bergeser. Stabilitas internal dan pembangunan ekonomi menjadi prioritas. Diplomasi pun lebih pragmatis. Indonesia mengokohkan ASEAN sebagai rumah bersama Asia Tenggara, membangun mekanisme keamanan dan kerja sama ekonomi yang menahan konflik terbuka di kawasan. 

BACA JUGA:Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM): Pembelajaran dari 80 Tahun Perjalanan Bangsa

BACA JUGA:Peringatan 80 Tahun Kemenangan Perang Rakyat Tiongkok, Serukan Jaga Perdamaian

Pendekatan itu sejalan dengan teori complex interdependence, yang melihat keterhubungan ekonomi-politik sebagai modal perdamaian jangka panjang.

Era Reformasi membuka babak baru yang tak kalah penting. Demokratisasi memberikan wajah segar bagi diplomasi kita: Indonesia tampil sebagai negara demokratis terbesar di dunia muslim, menjadi rujukan bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan. 

Peran itu terlihat dalam misi perdamaian PBB di Kongo, Lebanon, dan Sudan, yang tak sekadar simbol partisipasi global, tetapi juga membangun kredibilitas kita di mata dunia. 

BACA JUGA:Berpengalaman 80 Tahun, Jepang Tertarik Dukung Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia

BACA JUGA:Nenek 80 Tahun Tewas Tertabrak Motor di Perempatan Samsat Manyar

Kategori :