Layar Tua, Samudra Baru: 80 Tahun Indonesia di Panggung Dunia

Selasa 19-08-2025,13:54 WIB
Oleh: Eko Ernada*

Indonesia memainkan peran kunci dalam penyelesaian konflik internal seperti Aceh melalui Perjanjian Helsinki 2005, sekaligus memfasilitasi perundingan damai di Mindanao, Filipina Selatan.

Di ASEAN, Indonesia menjadi norm entrepreneur, menggagas ASEAN Political-Security Community dan ASEAN Human Rights Declaration. Kiprah itu memperkuat posisi kita sebagai penentu arah tata kelola kawasan, dengan pendekatan konstruktif khas constructivism –membentuk norma dan nilai sebagai basis hubungan antarnegara. 

Peran itu juga terlihat saat Indonesia mendorong solusi damai bagi krisis Myanmar meski hambatan internal kawasan masih besar.

BACA JUGA:Komisi V Pertanyakan Konsesi Kereta Cepat 80 Tahun

BACA JUGA:Kepala BGN di HUT Ke-80 RI, Bawa Misi Gizi untuk Indonesia Bebas Kelaparan

Di bawah Joko Widodo, orientasi layar kembali diarahkan ke laut. Konsep ”Poros Maritim Dunia” menghubungkan diplomasi dengan visi pembangunan infrastruktur dan perdagangan. 

Forum G-20 di Bali 2022 menjadi momen uji kematangan diplomasi Indonesia: di tengah perang Rusia-Ukraina yang memecah dunia, kita berhasil menjadi penengah yang mampu melahirkan komunike bersama. 

Di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia memperkuat ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, menolak logika blok militer dan mengedepankan kerja sama inklusif. Isu transisi energi dan pembangunan berkelanjutan pun diangkat ke panggung internasional, menjembatani kepentingan negara maju dan berkembang.

Kini, di bawah Prabowo Subianto, layar tua itu dihadapkan pada samudra baru yang lebih berlapis. Tantangan global makin kompleks. Mulai rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok, ketidakpastian pasar global, hingga medan baru bernama geopolitik algoritma. 

Keputusan untuk bergabung dengan BRICS menandai strategi hedging yang matang: menjaga ruang gerak dengan membangun kedekatan ekonomi-politik pada kekuatan baru tanpa meninggalkan aliansi tradisional. 

Posisi itu membuka akses pada pasar raksasa dan kerja sama teknologi, sambil menjaga fleksibilitas dalam manuver politik luar negeri.

Hubungan dengan Uni Eropa, yang selama ini terjalin erat tetapi sering terkendala isu sawit dan standar lingkungan, kini diarahkan ke kemajuan konkret melalui percepatan negosiasi Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). 

Kesepakatan itu diharapkan menjadi pintu masuk arus investasi hijau, transfer teknologi, dan perdagangan yang berkelanjutan, memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok global.

Di panggung kemanusiaan, sikap tegas terhadap tragedi di Palestina menunjukkan bahwa kompas moral bangsa tetap bekerja. Pemerintah tidak hanya menyuarakan dukungan diplomatik, tetapi juga mengirimkan bantuan kemanusiaan dan mendorong resolusi damai di forum internasional. 

Dalam kacamata constructivism, langkah itu mengukuhkan identitas Indonesia sebagai pembela kemerdekaan dan keadilan global, konsisten sejak era awal kemerdekaan.

Namun, abad ke-21 menghadirkan arena baru: diplomasi digital. Konflik seperti Israel-Palestina kini juga diperebutkan di jagat maya sehingga algoritma media sosial menentukan narasi mana yang diperbesar atau diredam. Geopolitik algoritma menjadikan big tech sebagai aktor tak kasatmata yang memengaruhi opini publik global. 

Kategori :