Dukun Pengganda Uang dari Tegal, Jateng: Pernah Bunuh Sembilan Orang

Sabtu 23-08-2025,22:40 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Slamet juga membunuh istrinya karena sang istri tahu Slamet membunuh dan mengubur para korban di pekarangan rumahnya.

Slamet divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis, 1 Februari 2024. Ia naik banding. Hasilnya, ia tetap dihukum mati. Kini Slemat dan Bodrex menghuni LP Nusakambangan, menunggu eksekusi mati.

Sebelum dukun Slamet, ada dukun Dimas Kanjeng Taat Pribadi, pemimpin Padepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jatim. Korbannya banyak, mereka sudah menyetorkan uang ratusan miliar rupiah ke Dimas. 

Salah seorang korbannya, Muhammad Ainul Yaqin, melaporkan kasus penipuan yang dilakukan Dimas dengan kerugian Rp 25 miliar ke Bareskrim Polri, 20 Februari 2016. Laporan Ainul tertuang dalam Laporan Polisi (LP) Nomor LP/176/II/2016/Bareskrim.

Dimas juga terbukti di sidang pengadilan sebagai otak pembunuhan dua anak buahnya. Yakni, Ismail Hidayah yang dibunuh pada 2 Februari 2015. Lalu, Abdul Gani yang dibunuh di Probolinggo pada 13 April 2016.

Akhirnya Dimas diadili di PN Kraksaan, Probolinggo. Pada Selasa, 1 Agustus 2017, Ketua Majelis Hakim Basuki Wiyono membacakan vonis:

”Terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti menganjurkan pembunuhan yang direncanakan itu. Sejumlah unsur mulai dari secara sengaja, berencana, serta menghilangkan nyawa orang lain telah terbukti dalam persidangan. Terdakwa dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.” 

Sedangkan untuk perkara penipuan, ia divonis tiga tahun penjara. Total 21 tahun penjara. Tahu-tahu, Dimas Kanjeng bebas bersyarat pada April 2025. Itu delapan tahun sejak vonis dijatuhkan 1 Agustus 2017.

Begitu terkenalnya, perdukunan di Indonesia sampai diteliti pakar dari Harvard University, Amerika Serikat (AS). 

Hal itu dimuat di The Conversation, 2 Mei 2019, berjudul Modern shamans: Financial managers, political pundits and others who help tame life’s uncertainty, karya Manveer Singh.

Manveer Singh peraih PhD bidang biologi evolusi manusia, Harvard University, AS. Berdasar bidang studinya itu, ia disebut sebagai antropolog kognitif.

Ia melakukan riset perdukunan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 2019. Risetnya dibiayai Harvard University dan National Science Foundation, AS.

Singh dalam penelitiannya hidup bersama aka manai (istilah Mentawai untuk sebutan dukun). Menurut Singh, berdasar aka manai, ada dua jenis orang di dunia ini: simata dan sikerei.

Simata adalah orang biasa (bukan dukun, tidak bisa melihat makhluk halus). Sikerei merupakan orang yang telah mengalami pengalaman transformatif dan punya kemampuan: bisa melihat roh. 

Singh: ”Saya telah mengalami banyak hal sejak malam di Indonesia, ketika aka manai menceritakan hal ini kepada saya. Saya ada di sana ketika seorang kali pertama melihat roh, ketika ia dan para sikerei lainnya menangis ketika melihat ayah mereka yang telah meninggal berputar-putar di sekitar mereka.” 

Dilanjut: ”Saya telah menghadiri tujuh upacara penyembuhan, menyaksikan penyembelihan puluhan babi untuk mengiringi tarian di malam hari. Namun, obrolan dengan aka manai yang berwajah ramah itu, lebih dari pengalaman lainnya, memperkuat pemahaman saya tentang sikerei khususnya dan perdukunan secara umum.”

Kategori :