Pajak 250 Persen dan Psikologi Massa: Emosi Kolektif dan Kearifan Lokal

Kamis 28-08-2025,05:33 WIB
Oleh: Bagus Suminar*

Saat pemicu baru datang, semua emosi itu meledak, muncul bersamaan, bahkan tanpa disadari.

Namun, fenomena itu tidak hanya milik ranah psikologi. Dalam perspektif kebijakan publik, kita bisa melihat bahwa Pati mungkin melewati dua jalur teori yang relevan. 

Pertama, model kebijakan inkremental (Charles Lindblom), yang menyarankan perubahan kebijakan hendaknya dilakukan secara bertahap, step-by-step,  untuk meminimalkan penolakan publik. Kenaikan 250 persen jelas jauh dari prinsip itu. 

BACA JUGA:Pajak Tinggi, Tax Ratio Rendah

BACA JUGA:Pajak Sidoarjo Pulih Lebih Cepat

Kedua, teori partisipasi publik dan good governance, yang menempatkan warga sebagai mitra, bukan sekadar objek kebijakan. Informasi yang jujur dan terbuka, dialog yang rutin, hati ke hati, dan ruang untuk memberikan masukan adalah bagian penting dari tata kelola yang sehat.

Warga Pati sebenarnya punya modal sosial besar, kearifan lokal untuk mendukung kebijakan berbasis partisipasi. Tradisi gotong royong tidak hanya untuk membangun rumah atau membersihkan jalan, tapi juga bisa menjadi gotong royong ide –menyumbang gagasan dan merumuskan solusi bersama. 

Prinsip guyub rukun mengajarkan pentingnya menjaga harmoni di tengah perbedaan, nilai yang sangat cocok untuk dialog program dan kebijakan publik.

BACA JUGA:Ancaman Pendapatan Pajak Daerah

BACA JUGA:Tim SIRI Kejagung Tangkap DPO Kejati Semarang, Kasus Perpajakan

Tradisi lelang komunitas –seperti lelang bandeng di Sidoarjo yang telah berlangsung sejak 1969 dan terdokumentasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta –menunjukkan bagaimana warga dapat mengelola acara budaya sekaligus membangun transparansi dan akuntabilitas bersama. 

Jika tradisi semacam itu dimodifikasi dan dikembangkan di Pati dengan sentuhan lokal, ia bisa menjadi wadah partisipasi publik yang hangat, inklusif, dan mudah diterima masyarakat.

Begitu pula dengan tradisi pasar tiban, yang muncul di berbagai wilayah seperti Sragen dan Pekalongan. Di Pasar Tambak Sribit, Sragen, misalnya, transaksi dilakukan tanpa tawar-menawar sebagai simbol keharmonisan dan keberkahan. 

Sementara itu, di Pekalongan, pasar tiban dicatat sebagai pasar dadakan dengan pola pergerakan pedagang yang fleksibel dan adaptif. 

Tradisi seperti itu dapat menjadi inspirasi model partisipasi publik: pemerintah hadir langsung di tengah keramaian pasar, membuka lebar-lebar pintu dialog, mendengar keluhan warga –tanpa formalitas yang kaku dan tanpa protokol yang menjauhkan.

Dengan modal budaya yang kaya, partisipasi publik di Pati tidak harus terpaku pada prosedur SOP yang kaku. Ini soal inovasi. Contoh gagasan yang bisa ditawarkan: Pentas Rakyat”Ngudar Kawruh” (berbagi ilmu). 

Kategori :