Irfan Akbar Prawiro, Sukses Bawa Gresik Movie Menembus Cannes di Prancis

Rabu 27-08-2025,10:02 WIB
Reporter : Dave Yehosua
Editor : Mohamad Nur Khotib

Irfan Akbar Prawiro melihat kampung halamannya sebagai sumber cerita yang tak pernah habis. Melalui komunitas film indie Gresik Movie yang ia dirikan, ia menjadikan film sebagai arsip hidup bagi masyarakatnya. Dari dokumenter tentang suporter sepak bola, kisah penutur macapat terakhir, hingga menembus Festival Film Cannes.

—--

Senja turun perlahan di fasad Sualoka Hub, Sabtu, 23 Agustus 2025. Rumah tua peninggalan bangsawan pribumi itu kini menjelma kafe, hangat diterpa cahaya oranye mentari.

Di salah satu kursi, tampak Irfan Akbar Prawiro. mengenakan kaos abu-abu bergambar sosok tua di kursi roda dengan tulisan Penutur Terakhir. Senyumnya lebar, sambutannya ramah.

BACA JUGA:Film Sebagai Cermin Kehidupan, Belajar Nilai Hidup dari Layar Lebar

Kaos abu-abu itu penanda sebuah karya. Gambar di dadanya adalah judul film dokumenter yang ia sutradarai pada 2024, Penutur Terakhir. Film tersebut mengisahkan Mat Kauli, satu-satunya penutur macapat khas Gresik yang masih bertahan. 

Bagi Irfan, karya itu lahir dari keresahan. Sekaligus tekad merawat tradisi yang hampir hilang. “Langgam macapat Gresik hanya tersisa di beliau, dan kami merasa terhormat bisa mengarsipkannya lewat film,” tutur alumnus Erlangga Broadcast Education itu.

Sejak awal, karya-karya Irfan memang berakar pada Gresik. Semangat itu bermula dari sebuah proyek yang mereka sebut Ultras. Proyek tersebut muncul ketika Irfan dan sejumlah mahasiswa asal Gresik yang tengah berkuliah di luar kota berkumpul pada 2011. 

BACA JUGA:Kenapa Film Romcom Selalu Jadi Comfort Movie?

Meski berasal dari latar belakang seni yang berbeda, mereka menyatukan visi lewat riset. Mereka bertanya: apa yang paling dekat dengan masyarakat Gresik dan bisa menggambarkan kota mereka?

Jawabannya: sepak bola. Bagi Gresik, sepak bola sudah serupa denyut kehidupan. Suporter dan gairah tribun menjadi pilihan mereka. Maka lahirlah Ultras, film dokumenter yang digarap selama dua tahun hingga akhirnya dirilis pada 2013. Dari situlah, akar ideologi Gresik Movie mulai terbentuk. 

Dalam imajinasinya, Gresik adalah ladang cerita yang tak pernah kering. Ia percaya, alih-alih menoleh ke luar, Gresik punya banyak hal untuk ditangkap dan diolah menjadi karya. Satu demi satu film lahir dari semangat itu. 

BACA JUGA:Kemeriahan Kirab Hari Kemerdekaan di Gresik: 16 Kelurahan Rayakan Identitas, Pamerkan Ornamen Khas

Film ke-32 mereka, Gemintang, berhasil mengharumkan nama Gresik. Yakni sukses menyabet juara dua dari Festival Film Sunday dari Kemenparekraf pada 2022. Kemudian membuka jalan menuju Festival Film Cannes di Prancis.

“Dan berkesempatan terbang bersama kelima pembuat film lain ke Cannes,” ujar Irfan, matanya berbinar.

Gemintang dibuat dari keresahan Irfan tentang langit Kota Gresik yang terselimuti asap-asap dari cerobong industri. Karena itu, ia menganggap mungkin saja melihat bintang menjadi hal yang langka dan mahal bagi masyarakat.

BACA JUGA:Dukungan untuk Guru TK, Bupati Gresik Siapkan Rp 7 Miliar Insentif Non Sertifikasi

Di Cannes, Gemintang berdiri sejajar dengan karya sineas dunia. Sebuah lompatan besar dari komunitas kecil di Kota Pudak. Namun, pencapaian itu bukan akhir, melainkan penguat keyakinan bahwa Gresik memang punya daya.

“Gresik ini ibarat dapur,” katanya lantas menyeruput minumannya. “Banyak hal bersepah di sana, tetapi justru karena itu kami bisa menghasilkan produk yang bisa dihidangkan ke masyarakat luas.”

Irfan pun memilih menciptakan ekosistem perfilman di Gresik. Bersama Gresik Movie, ia merajut jalannya perlahan. Mereka menggelar eksebisi, workshop, hingga menggandeng instansi pendidikan dan kepemudaan. 

Kategori :